DS022-HIJAB CAHAYA
Kesempurnaan
adalah tujuan setiap makhluk, terutama manusia. Setiap manusia selalu berusaha
meraih segala sesuatu secara sempurna dan total. Ia menginginkan kesempurnaan
bagi segala sesuatu meski seringkali ia gagal mengidentifikasi kesempurnaan
yang sejati. Dalam perjalanan menuju kamal (kesepurnaan), ternyata
perjalanan manusia tidak mulus seperti harapan karena seringkali ia dihadapkan
pada banyak hijab (penghalang) yang mengharuskannya berjuang untuk
mendobrak hijab-hijab itu hingga terkuak kesejatian yang semula terselimuti.
Pemasalahan
menjadi lebih rumit karena terkadang sebagian hijab tersebut tidak kita sadari
sebagai hijab, bahkan kita terjebak pada kondisi dimana kita merasa mencapai
tujuan padahal saat itu kita sedang membentur dinding penghalang itu.
Dari
ilustrasi diatas kita bisa memahami bahwa sebagian hijab tampak jelas dan
sebagian yang lain tampak samar bahkan tampak sebagai hakikat dan bukan
penghalang. Karenanya hijab yang menghalangi manusia mencapai kesempurnaan
dapat dibagi menjadi dua:
1.
Hijab
Dhulumat (hijab kegelapan)
2.
Hijan
Nur (hijab cahaya)
Mari
kita telaah sedikit lebih dalam:
Hijab
kegelapan
Merupakan hijab paling besar yang menghalangi perjalanan manusia
menuju kesempurnaan. Bentuk hijab kegelapan yang paling jelas adalah dosa
maksiat yang menutup mata manusia hingga tidak lagi mampu melihat kebenaran dan
kenyataan. Dosa-dosa telah menciptakan hijab hingga manusia tidak melihat
Tuhannya, tidak menyadari kekurangannya dan tidak memahami hakikat hidupnya.
Dosa yang dibiasakan akan terasa kecil di mata pendosa dan ketika satu dosa
dianggap kecil niscaya dosa itu akan diulang. Padahal membiasakan diri dengan
dosa kecil adalah sebuah dosa besar, minal kaba-ir al ishrar ‘alash
shagha-ir (termasuk dosa besar adalah mengulang-ulang dosa kecil). Imam Ali
juga pernah berkata: asyaddudz dzunuubi mastahaana bihi shaaibuhu (dosa
paling besar adalah meremehkan dosa tersebut.
Setiap
kali manusia berbuat dosa maka akan tercetak dalam hatinya sebuah titik hitam.
Semakin bertambah dosanya, semakin bertambah luas pula bercak hitam itu. Dan
setiap kali menyadari dosa dan beristighfar, berkuranglah bercak itu. Jadi
hijab tercipta secara bertahap hingga bercaknya menutupi hati hingga menjadi
kelam dan akrab dengan kegelapan.
Hijab
cahaya
Kalau
dosa adalah hijab, maka semua memahami tahu hal itu. Tapi bagaimana mungkin nur
atau cahaya menjadi hijab yang menghalangi manusia menuju kesempurnaan?.
Bukankah dengan cahaya, manusia melihat segala sesuatu dengan lebih jelas?,
bukankah definisi nur adalah sesuatu yang bersinar dengan sendirinya dan
menyinari yang lainnya?, bukankah dengan cahaya, manusia menyingkap segala yang
tersembunyi?. Bagaimana mungkin cahaya menghalangi manusia untuk melihat
sesuatu?
Untuk
memudahkan pemahaman, saya akan memberikan contoh:
Matahari
adalah cahaya yang sangat terang dan kuat. Ia juga menyinari segala sesuatu
hingga semua tampak dengan jelas. Namun apakah pernah kita mencoba melihat ke arah
bola matahari?, dapatkah kita melihatnya ataukah terang sinarnya yang
menyilaukan akan menghalangi kita melihat wujudnya?. Karena terlampau terang
dan menyilaukan, cahaya matahari itu menjadikan mata kita seperti buta karena
silaunya sehingga kita tidak bisa melihatnya
Hakikat
ini disebutkan dalam munajat Sya'baniyah, dimana Imam Ali berdoa:
الهي هب لي كمال الانقطاع اليك وانر ابصار قلوبنا بضياء
نظرها اليك حتى تخرق ابصار القلوب حجب النور فتصل الى معدن العظمة وتصير ارواحنا معلقة
بعز قدسك
“Ya
Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku kekuatan untuk meninggalkan selain-Mu,
terangilah mata hatiku dengan cahaya yang dengannya aku bisa melihat, karenanya
mata hati kami mampu membakar seluruh hijab cahaya hingga ia (mata hati) mampu
mencapai sumber kebesaran dan ruh kami bergantung pada mulia kesucian-Mu"
Maka
Nur (cahaya) bisa menjadi hijab yang menyampaikan kita kepada hakikat
kesempurnaan. Ilmu adalah nur yang mengantarkan kita ke gerbang ma’rifat dan
kesempurnaan, namun pada kenyataannya ilmu akan menjadi hijab dan penghalang
menuju tujuan tersebut.
Bagaimana
ilmu menjadi hijab?
Sesungguhnya
ilmu akan menjadi hijab saat manusia memandangnya sebagai pakaian yang
melahirkan ke’aku’an (ananiyah) dan menganggap dirinya mulia dengan ilmu
itu dan selanjutnya melihat orang lain dengan kehinaan. Barangkali karena itu
Imam Ali as. pernah berkata: "Barangsiapa berkata: "Saya alim",
maka dialah orang bodoh yang sebenarnya".
Ada
sesuatu yang menarik ketika suatu hari Imam Ali ditanya: "Apakah anda
seorang yang alim". Imam menjawab: "Aku bukan termasuk orang bodoh
dari mereka". Imam Ali tidak ingin berbohong namun beliau juga tidak ingin
menjadikan ilmu sebagai hijab dalam bentuk pakaian kesombongan.
Jadi
ilmu akan menjadi hijab bagi seseorang dan menjatuhkannya ke lembah kehinaan
ketika ilmu itu menjadikannya merasa tinggi (at-ta'ali). Saat itu ilmu
akan menjadi alat mengumpulkan dosa dengan dijadikannya ilmu sebatas komoditas
demi popularitas dan kesan manusia lain terhadapnya
Pantaslah
jika ilmu tanpa ketaqwaan hanya akan menghancurkan sebagaimana taqwa tanpa ilmu
adalah kebutaan. Ilmu tanpa taqwa hanya akan menjadi hijab yang lebih berbahaya
daripada hijab dosa.
JIKA
ILMU TANPA TAQWA MENJADIKAN MAKHLUK MULIA, MAKA MAKHLUK PALING MULIA ADALAH
IBLIS..
No comments