DS023-BERLOGIKA MENCARI TUHAN
Allah swt. mengutus para malaikat
untuk melakukan tugas sesuai yang ditetapkan atas masing-masing mereka. Sebagian
dperintahkan untuk menabur rejeki, yang lain menjaga dan mengawasi manusia dan ada
pula yang bertugas mencabut nyawa atau menjaga surga dan neraka. Mereka
melaksanakan setiap titah Allah dengan penuh ketaatan dan ketundukan.
Sebuah pertanyaan
terbersit di hati kita, mengapa Allah ‘memperbantukan’ malaikat untuk
tugas-tugas tersebut?, apakah Allah (na’udzu billah) tidak mampu
melaksanakan itu semua sendiri hingga membutuhkan tenaga mereka?.
Pertanyaan seperti
itu selalu kita tepis dengan berlindung kepada kalimat ta’awudz atau istighfar,
meskipun keduanya tidak mampu secara sempurna menghilangkan kegaulauan akibat
pertanyaan yang tidak mendapatkan jawabannya. Di satu sisi kita seperti dipaksa
untuk mematuhi sesuatu yang mana kita belum bisa menerima kebenarannya secara
sempurna, sementara di sisi yang lain, hub al istithla’ (dorongan ingin
tahu) serasa memberontak dan berusaha mendobrak batasan norma-norma 'akidah' yang terkesan jumud itu.
Kita harus
menggunakan bekal paling sempurna yang diberikan Allah kepada manusia yaitu
akal pikir dalam memahami agama dan berjalan menuju keyakinan.
Mungkin banyak yang
tidak setuju dengan saya bahwa akal adalah fasilitas paling sempurna yang
diberikan Allah kepada manusia. Sebagian orang berpandangan bahwa hati dan
fitrah adalah fasilitas paling sempurna yang akan mengantarkan manusia menuju
kesempurnaan.
Saya berpandangan bahwa akal sebagai fasilitas paling sempurna karena akal adalah satu-satunya fasilitas
paling dhahir yang mampu dimodifikasi oleh setiap manusia, baik kemudian
modifikasinya menghasilkan konstruksi atau distruksi.
Fitrah dan hati memang
fasilitas luar biasa yang mampu menuntun manusia menuju kesempurnaan akan
tetapi selain wujudnya terlalu abstrak, secara tekhnis, keduanya adalah
fasilitas sekunder yang difungsikan setelah proses identifikasi logis.
Untuk lebih
jelasnya, saya akan mengutip pembahasan salah seorang ulama besar yaitu
Ayatullah Mishbah Al Yazdi dalam bukunya Durus fil ‘aqidah al Islamiyah.
Dalam buku tersebut beliau menjelaskan bahwa, sesuai dengan tekhnis
pencapaiannya, ma’rifatullah (pengenalan terhadap Tuhan) yang dimiliki
manusia bisa dibagi empat:
1.
Mairifat
Tajribiyah (pengetahuan eksperimental fisik),
dimana manusia medapatkan ilmu ini melalui eksperimen inderawi seperti
mengetahui temperature suatu benda dengan cara menyentuh benda tersebut, melihat
fenomena alam atau berbagai macam eksperimen semisal dengan variasi tingkat
kerumitan meskipun semuanya masih pada dataran eksperimen inderawi. Ilmu fisika,
kimia atau biologi merupakan disiplin ilmu yang menggunakan tekhnik ini untuk
mendapatkan kesimpulan. Tekhnik ini cukup efektif dalam rangka mengenalkan
kekuasaan Tuhan dengan merasakan keindahan ciptaan-Nya. Ma’rifat dengan tekhnik
seperti ini pernah disebutkan dalam Al Quran :
سَنُرِيهِمْ
آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ
الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Akan Kami tunjukkan kepada mereka
tanda-tanga (kekuasaan) Kami di alam semesta dan pada diri mereka hingga
terbukti bahwa semua itu adalah benar adanya. Tidak cukupkah bagimu bahwa
Tuhanmu adalah saksi bagi segala sesuatu?”
(Q.S. Fussilat:53)
2.
Ma’rifat
Ta’abbudiyah (pengetahuan berdasarkan literatur
syar’i), dimana manusia mendapatkan pengetahuan tentang berbagai perkara agama melalui
informasi dari sumber-sumber tertulis yang sudah diverifikasi keabsahannya untuk
dijadikan rujukan. Dalam hal ini, Al Quran dan hadits yang dijadikan sebagai
sarana mengenal dan memahami apa yang diinginkan Allah melalui utusan-Nya. Al
Quran juga pernah menyinggung masalah ini,
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ
أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ
لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
“Sesungguhnya Quran
ini adalah petunjuk menuju jalan yang terbaik serta berita gembira bagi
orang-orang beriman dan melakukan amal shalih bahwa mereka akan mendapatkan
balasan yang agung”. Q.S. Al Isra: 9
3.
Ma’rifat
Syuhudiyah (pengetahuan berdasarkan proses
syuhud melaui sair (perjalanan batin) dan suluk (langkah-langkah
spiritual) sebagaimana yang yang sering dilakukan oleh kalangan sufi). Ma’rifat
dengan tekhnik ini diklaim mampu mencapai tujuan asas (Allah) tidak dengan
memahami (husuli) tapi merasakan(hudhuri). Pengetahuan eksklusif
ini diklaim mampu menjadikan pemiliknya tidak hanya memahami keberadaan Tuhan, namun
lebih dari itu, ia mampu merasakan kehadiran-Nya pada dirinya. Ma’rifat semacam
ini pernah juga dinisbahkan kepada Rasulullah saw. yaitu saat Allah berfirman :
وَمَا
يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Dan dia (Muhammad) tidak berbicara dengan hawa nafsu,
semua ucapannya adalah wahyu belaka” (Q.S. An Najm: 3-4)
4.
Ma’rifat
‘Aqliyah (ma’rifat logika), dimana manusia
berusaha menggunakan kemampuan akal pikirnya untuk menggabungkan beberapa
kaidah hingga mencapai konklusi logis. Dengan tekhnik ini manusia dengan
leluasa menelaah sebuah kebenaran dari konsep ketuhanan dan membandingkan
dengan konsep-konsep lain kemudian mengidentifukasi untuk memilih mana yang
paling bisa dipertanggungjawabkan. Pemanfaatkan akal sebagai alat mengenal
Allah merupakan perintah Islam sebagaimana termaktub dalam kitab Allah itu. Banyak
ayat yang berisi teguran kepada orang-orang yang tidak mau mengikuti kebenaran
diakhir dengan kalimat: afalaa ta’qiluun (mengapa kalian tidak
menggunakan akal?.
Diantara tekhnik-tekhnik ma’rifatullah itu,
manakah yang paling efektif?
Menjawab pertanyaan ini, Ayatullah Mishbah Al
Yazdi mengatakan (masih dalam buku yang sama) bahwa ma’rifat aqliya adalah
tekhnis yang paling efektif untuk memulai sebuah usaha pencarian Tuhan karena:
·
Kelemahan ma’rifat
eksperimental adalah keterbatasan kemampuan dalam mengidentifikasi obyek kerena
hanya berlaku pada pembuktian akan hal-hal yang bersifat inderawi yang bisa
dibedah di meja laboratorium. Ma’rifat ini tidak mampu membuktikan keberadaan
non fisik bahkan pada saat non fisik itu tidak bisa dibantah keberadaannya. Anehnya
mereka segera memastikan ketiadaannya. Sebagaimana kita ketahui, rukyah
kauniyah (paradigma) materialis telah membangun sekat ilmiah dengan mengatakan
bahwa segala obyek yang tidak bisa dibuktikan dengan eksperimen inderawi maka
obyek itu dipastikan tidak ada. Padahal sesuatu yang tidak bisa dibuktikan
secara fisik belum tentu tidak ada, mungkin saja ia merupakan sebuah obyek
supra rasional.
Selain
itu hampir tidak mungkin kita temukan eksperimen murni mengingat ekperimen
harus dilakukan berulang-ulang dengan berbagai variasi kondisi serta dengan
mempertimbangkan factor-faktor lain. Untuk selanjutnya pengulangan hal yang sama
secara random akan membuktikan sebuah kaidah umu. Dengan apa kaidah umum itu
disimpulkan?, tentu dengan kaidah logika juga!
·
Kelemahan ma’rifat
ta’abbudiyah dikarena literatur syar’i merupakan sumber sekunder yang bisa
digunakan sebagai argumentasi setelah pembuktian akan keabsahannya. Pembuktian keabsahan
sumber syar’i dan bahwasannya sumber itu berasal dari musyari’ (Allah dan para nabi) sehingga bisa dijadikan
sandaran argumentasi, tidak mungkin dilakukan dengan merujuk kepada literatur
bersangkutan. Jika kita menggunakan berita Al Quran untuk mengenal Allah, misalnya,
maka bukankah kita harus melakukan pembuktian bahwa Al Quran tersebut berasal
dari Allah?. Hal ini hanya akan menciptakan daur (sirkulasi tak
berkesudahan). Jadi buktikan eksistensi Quran sebagai kitab langit baru
kemudian kita menggunakannya sebagai tongkat mengenal Allah.
·
Kelemahan ma’rifat
syuhudiyah karena ia terlalu eksklusif dan tidak berlaku bagi setiap orang.
Semua orang tahu dan sepakat bahwa tidak ada manusia biasa yang saat dilahirkan
ia sudah menjadi seorang sufi. Ia pasti akan melalui tahap-tahap berlogika dan
menggunakan inderanya terlebih dahulu.
Allah
berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ
لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ
وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan
Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dan saat itu kalian tidak tahu
apa-apa. Maka kami bekalkan pendengaran, penglihatan dan pemahaman agar kalian
bersyukur”. (Q.S. An Nahl: 78)
Ayat
tersebut memberikan gambaran bagaimana manusia merangkak dalam menggapai
pengetahuan bersama manusia-manusia yang lain. Baru sebagian dari mereka
mengasah logikanya dan dengan usaha spiritualnya ia merubah format logika
menjadi format spiritual melalui mujahadah batin dan sebagainya.
Walhasil, ma’rifat logis merupakan langkah
pertama yang harus dilakukan dalam usaha pencarian Tuhan sebagai sumber
kesempurnaan. Hal ini bukan berarti ma’rifat-ma’rifat tidak berguna, sama
sekali tidak. Bahkan berbagai ma’rifat yang telah kita sebutkan mampu
menyampaikan manusia manusia ke tingkat tertinggi penghambaan dan kedekatan
dengan Allah hingga melebihi prestasi logika kita, hanya saja secara teknis,
semua itu membutuhkan mikadimah yang bersifat aqliyah.
No comments