DS027-PEMIMPIN ADALAH PELAYAN
Saat
Allah mengangkat manusia (Adam as.) menjadi khalifah, malaikat 'mempertanyakan'
hal itu seraya berkata: "Apakah Engkau hendak mengangkat manusia
sebagai khalifah padahal ia gemar membuat kerusakan dan gemar menumpahkan
darah?". Q.S. Al Baqarah
Dialog
diatas menggambarkan malaikat tahu betul karakter dan sifat manusia sehingga
kita bertanya-tanya: "Apakah sebelumnya sudah ada manusia lain sebelum
Adam sehingga malaikat pernah punya pengalaman dengan makhluk yang namanya
manusia?"
Jawabannya
bisa 'YA' bisa juga 'TIDAK'
Ya,
karena hal itu tidak mustahil, hanya saja kita tidak bisa memastikan sebelum
ada dalil yang menguatkan hal itu dan itu bukan topik kita pada pagi hari ini.
Kalaupun
jawabannya TIDAK, malaikat bisa saja mengetahui tentang manusia setelah
diberitahu Allah akan karakter hawa nafsu yang diberikan kepada manusia. Saya
yakin bahwa dialog antara Allah dan para malaikat tidaklah sesingkat yang
termaktub dalam ayat-ayat Al Quran. Malaikat pasti mendapatkan informasi bahwa
makhluk yang bernama manusia ini memiliki sesuatu yang tidak mereka miliki
yaitu HAWA (NAFSU) dengan karakteristik yang sangat berpotensi melakukan
kerusakan dan menumpahkan darah. Kecenderungan HAWA yang selalu menuntut
pemenuhan dengan CEPAT, BANYAK dan TERUS MENERUS dipahami oleh malaikat sebagai
potensi besar untuk terjadinya chaos dan tragedi diatas muka bumi.
Akan tetapi ketika Allah membuktikan bahwa HAWA
merupakan kelebihan manusia atas malaikat dengan lahirnya inovasi manusia untuk
menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan Allah maka malaikat memahami dan tunduk
kepada Allah dengan penuh keikhlasan. Meskipun dalam HAWA berpotensi destruktif
dengan berbuat kerusakan dan penumpahan darah.
Maka
manusia harus menjadi manager bagi potensi besar yang ia miliki agar mampu
membuktikan kelayakannya sebagai khalifah, yang lebih tinggi kedudukannya dari
para malaikat.
Dari
ayat diatas bisa kita katakan bahwa syarat menjadi khalifah ada 2 yaitu:
1.
Tidak
berbuat kerusakan
2.
Tidak
menumpahkan darah
Ironisnya,
kita sering melihat dalam kehidupan kita bagaimana seorang ulama Islam,
misalnya, sebagai pemimpin umat yang seharusnya membimbing mereka menuju ridha
Allah, justeru gemar berbuat kerusakan dengan menebar kebencian kepada kelompok
Islam yang lain dan mengajak pengikutnya untuk melakukan hal yang sama. Perbuatan
seperti itu adalah salah satu bentuk tindakan merusak tatanan masyarakat dan
bertentangan dengan ajaran Islam yan mengutamakan seruan kasih sayang (rahmatan
lil 'alamin). Dan ketika mereka ditegur, mereka tidak mengakui tindakan
yang dilakukan adalah tindakan destruktif. Allah berfirman: "Dan apabila
mereka ditegur: "Jangan kalian berbuat kerusakan di muka bumi!",
mereka menjawab: "Sesungguhnya kami (tidak berbuat kerusakan) yang
memperbaikinya". Q. S. Al Baqarah
Kita
juga melihat bagaimana orang-orang yang mengaku ulama demikian mudahnya
mengeluarkan fatwa akan halalnya darah kelompok Islam lain yang mereka kafirkan
terlebih dahulu hanya karena perbedaan amaliyah fikih. Gerakan Takfiri bukan
hanya gerakan kerusakan tapi juga penumpahan darah karena begitu seseorang
dikafirkan maka jiwa dan semua miliknya tidak berharga lagi. Itulah bahayanya
gerakan takfiri yang dengan teriakan ALLAHU AKBAR! telah merasa menjadi muslim
sejati dan selain mereka adalah kaum kafir.
Kekhalifahan
bukan hanya berhubungan dengan penguasa negeri. Kekhalifahan adalah
kepemimpinan yang ada pada setiap aspek dan lingkup kehidupan kita. Kita adalah
khalifah bagi diri, keluarga dan masyarakat kita. Bukankah telah disebutkan
dalam riwayat: KULLUKUM RA'IN WA KULLUKUM MAS-UULUN 'AN RA'IYYATIH
(Setiap kalian adalah penggembala dan akan bertanggung jawab atas gembalaannya)
Untuk
memenuhi kriteria khalifah, seorang pemimpin harus tawadhu' dan rela
menjadi pelayan bagi masyarakatnya. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat: 'RA-ISUL
QAUMI KHADIMUHUM (Pemimpin sebuah kaum adalah pelayan mereka).
Saya
akan menutup kuliah ini dengan sebuah riwayat dari Imam Ali:
Pada
suatu hari seseorang datang menghadap Imam Ali as. yang saat itu menjadi
khalifah. Ia mengadukan tentang saudaranya yang kaya, namun hidup
bermiskin-miskin sehingga anak dan isterinya kelaparan dan pakaian mereka tidak
layak. Mendengar itu, Amirulmukminin as. memerintahkan agar ia mendatangkan
saudaranya tersebut untuk dinasehati. Selang beberapa saat, datanglah orang
yang diadukan tidakannya. Maka terjadilah dialog antara Imam Ali as. dan
laki-laki tersebut:
Imam
Ali berkata: “Kamu memiliki harta, maka gunakanlah hartamu untuk ibadah dengan
menafkahi keluarga kamu dengan baik, jangan menyiksa diri dan keluargamu dengan
apa yang selama ini engkau lakukan!”.
Laki-laki
itu menjawab: “Bagaimana dengan anda?. Anda adalah khalifah kaum muslimin, Bait
Al Mal ada dalam kekuasaan anda, anda bisa memerintahkan apa saja, mengapa anda
juga hidup dalam kekurangan dengan makanan, pakaian dan cara hidup yang tidak
layak dengan kedudukan anda?”
Imam
(sambil tersenyum) menjawab: “Seorang pemimpin harus mengukur hidupnya dengan
orang yang paling miskin diantara rakyatnya”.
Assalamu’alaika
Ya Amiralmukminin…
No comments