DS036-SEKILAS MEDSOS
Dalam Islam,
tidak ada larangan untuk aktif di media sosial, bahkan menjadi sesuatu yang dianjurkan
ketika hal itu dijadikan sebagai sarana untuk saling mengenal demi memahami
perbedaan (bukan menyamakan perbedaan). “…dan kami jadikan kalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal (saling mengisi)”.
Dalam hal ini, sosial media
yang sering disingkat medsos ini menjadi sebuah sarana pemaparan pemikiran yang
memungkinkan setiap orang mendapatkan informasi dengan cepat melalui interaksi berbasis
online ini. Medsos juga bisa menjadi sarana dakwah menuju kebaikan dengan cara
menebarkan nasehat kebaikan sehingga, dengan cakupan audience yang nyaris tak
berbatas ini, efektifitasnya akan lebih tinggi dan menekan biaya produksi. Dengan
kata lain, tidak ada yang salah dengan medsos bahkan fasilitas interakasi ini sangat
potensial untuk menyumbang banyak kebaikan dan manfaat bagi penggunanya.
Sebagaimana medsos berpotensi menebar
kebaikan namun ia juga berpotensi menciptakan kerusakan. Potensi
destruktif akan menguat saat banyak
orang yang kehilangan kesadaran dan focus akan tujuan dasar dari interaksi sosial
ini. Mereka tenggelam dalam keasyikan chatting dan bertukar komentar hingga
melupakan tujuan awal dari interaksi ini, karena interaksi yang seharusnya
membangun dan menciptakan sinergi ta’aruf itu kini berubah menjadi ajang ghibah,
gunjing bahkan fitnah. Apalagi mengingat keleluasaan dan privasi aktifitas di
medsos menjadikan banyak orang tidak lagi merasa tabu untuk mengungkapkan aib
orang atau bahkan aib diri sendiri. Maka beralihlah fungsi medsos dari fungsi informatif
koordinatif menjadi distruktif dan kontra edukatif. Secara tidak disadari, ta’aruf yang tujuannya adalah menjalin tali
silaturahmi kini menjadi kontra produktif dimana media yang disebut sebagai
media sosial justru menciptakan kecenderungan anti sosial dan rentan menciptakan
gesekan sosial.
Meskipun menyimpan banyak manfaat,
medsos bukanlah segala-galanya, bahkan banyak hal yang harus kita korbankan
dengan menggunakan fasilitas ini. Kecenderungan untuk malas bertemu secara
langsung dengan lawan bicara menambah buruk keadaam sosial. Orang sudah enggan
menyambangi saudaranya karena ia melihat sarana lebih praktis untuk menyampaikan
maksud. Islam mengajarkan betapa menebar senyum merupakan ibadah, menatap wajah
saudara muslim juga ibadah, mengucapkan salam sambil berjabat tangan pun ibadah.
Semua itu tidak kita dapati dalam interaksi di media sosial. Belum lagi jika
kita perhatikan, obrolan di sosmed rentan menciptakan miskomunikasi karena
tidak mengikutkan sisi emosional yang bisa dirasakan oleh kedua pihak karena,
selain mimik yang tak terbaca, tidak adanya intonasi yang bisa ditangkap sangat
berpengaruh dalam menciptakan salah paham dalam menilai sebuah maksud. Ketahuilah
bahwa manusia saling memahami tidak hanya dengan kata-kata tertulis tapi dengan
gesture dan mimik yang muncul saat sebuah kata diucapkan. Emoticon tidak banyak
membantu dalam hal ini.
Lebih parah lagi, kita akan rela
menulis pesan dengan jari kita selama berjam-jam untuk sekedar membicarakan
pihak ketiga sehubungan dengan masalah yang sebenarnya tidak penting bahkan
tidak baik untuk diucapkan. Namun kita malas untuk menulis pesan salam duka
ketika ada berita duka dari saudara dan teman kita. Kita akan mengirimkan
image/gambar yang bertuliskan ungkapan duka yang mana gambar itu merupakan stok
yang kita persiapkan setiap kali ada berita duka. Artinya, bahkan kita berubah
menjadi orang yang malas mendoakan orang lain.
Dalam hal informasi juga demikian,
kita gemar melakukan copas (copy-paste) artikel yang panjang yang kadangkala
kita sendiri belum membacanya, terbukti artikel bertuliskan selamat malam tapi
kita kirimkan siang hari, untuk apa?, agar orang tahu bahwa kita banyak ilmu
atau informasi melebihi yang lain. Dalam kondisi ini media sosial telah
menciptakan bencana sosial.
Ketika anda membagikan sebuah
informasi kepada orang lain, apakah yang terbersit dalam benak anda saat itu?. Apakah
keinginan memberitahukan sesuatu atau hanya keinginan untuk mendeklarasikan
pengetahuan anda, atau bahkan mungkin sekedar iseng karena tidak ada kerjaan
lain?.
Memberitahukan sesuatu kepada orang
lain sudah digariskan batasannya dalam Al Quran yaitu ketika Allah berfirman: “wa
amma bini’mati rabbika fahaddits” (…adapun terhadap nikmat Tuhanmu maka
ceritakanlah!).
Ayat tersebut dengan jelas memberikan
batasan tentang apa yang dianjurkan untuk diceritakan kepada orang lain yaitu
sesuatu yang dirasakan sebagai nikmat. Itulah sharing sejati yang dianjurkan
untuk dilakukan. Maksudnya, sebelum anda menyampaikan sesuatu kepada orang
lain, sudahkan anda merasakannya sebagai nikmat dan kebaikan sehingga apa yang
anda lakukan benar-benar sebuah persembahan yang layak. Sama halnya dengan
sedekah, dimana kita dianjurkan untuk memberikan sebagian harta yang kita
cintai kepada yang membutuhkan bukan memberikan sesuatu yang kita memang sudah
tidak menyukainya. Jika kita memberikan sesuatu yang kita sendiri tidak
menyukainya maka hal itu tidak terhitung sebagai sedekah karena tidak ubahnya
seperti buang sampah saja. Sharing adalah berbagi kenikmatan yang artinya kita
harus meyakinkan diri bahwa yang kita miliki adalah nikmat dan setelah itu kita
berbagi nikmat itu dengan orang lain. Jika kita memiliki makanan yang lezat
menurut kita dan kita mulai berbagi maka apapun kata orang tidak akan banyak
berpengaruh kepada kita karena kita sudah merasakan kelezatannya. Bahkan ketika
orang lain tidak menerima pemberian makanan itu, kita tidak merasa sedih karena
kita sendiri menyukai masakan kita. Biarlah makanan lezat itu kita makan
sendiri.
Seorang da’i atau pemberi nasehat
yang menyampaikan sesuatu atas dasar tuntutan kondisi tidak akan merasakan
sensasi berbagi itu. Ia akan merasa sakit saat jamaah tidak menerima apa yang
ia sampaikan sedangkan dia tidak membutuhkannya Akan sangat menyiksa jika
seseorang harus menyampaikan sesuatu yang ia tidak merasakannya sebagai nikmat
yang perlu dibagi.
Karena itu, majlis taklim harus
menjadi majlis sharing dengan makna yang sesungguhnya, agar antara ustadz dan
para murid merasakan kenikmatan yang sama.
Jika tidak demikian maka boleh jadi
tujuan seorang penceramah hanyalah ingin menunjukkan kepada jamaahnya bahwa ia
tahu sesuatu. Tidak ada kenikmatan yang dirasakan kecuali kebanggan semu saat
jamaah menganggukkan kepala tanda paham atau pura-pura paham. Ia merasa terganggu
saat jamaah tidak sepakat dengan pendapatnya dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dianggap menyulitkannya.
Kesimpulannya, media sosial merupakan
fasilitas ampuh untuk mengembangkan tradisi sharing atau berbagi nikmat kepada orang
lain, namun demikian tidak menutup kemungkinan medsos akan menjadi sumber
kehancuran manusia akibat menyalahgunakan potensi interaksi manusia sebagai
khalifah di muka bumi.
Bijaklah dalam menggunakan media
sosial agar kita terhindar dari bencana kemanusiaan.
No comments