DS039-SIAPAKAH YANG DISEBUT UMAT MUHAMMAD SAW.?
Sebagimana kita ketahui bahwa Nabi
Muhammad saw. diutus sebagai rahmat
(kasih sayang) bagi segenap alam semesta. Hal ini memunculkan pertanyaan
tentang siapa yang disebut umat Nabi Muhammad, apakah seluruh penduduk alam semesta
ini baik kafir maupun yang berserah diri sebagaimana dhahir ayat diatas?,
apakah ada klasifikasi dan filter bagi satu umat untuk dianggap umat Nabi akhir
jaman itu?
Sejatinya Allah telah mengutus Nabi
Muhammad sebagai penyeru kepada-Nya bagi segenap semesta. Hal ini menjadikan
semua penduduk semesta adalah umat Muhammad saw. tidak memandang bangsa, suku,
agama dan keimanannya. Inilah yang disebut umat Muhammad secara takwini (merupakan ketentuan dan bukan
pilihan). Dengan pengertian ini maka Abu Lahab, Abu Jahal, bahkan seluruh musuh
Allah adalah umat Muhammad. Tidak ubahnya seperti hubungan anak dan bapaknya
yang merupakan ketentuan takwini
dimana seorang anak tidak punya alternatif untuk memilih bapak yang ia
kehendaki. Karenanya, hukum takwini
tidak bisa dijadikan tolok ukur kemuliaan seseorang karena tidak dicapai dengan
perjuangan.
Barangkali kita masih ingat bagaimana
Adam dan Hawa diciptakan dan tinggal di tempat bernama Al Jannah yang kemudian kita terjemahkan dengan kata surga?,
bukankah karakter surga disitu tidak sama dengan surga yang menjadi balasan
bagi hamba-hamba yang shalih?, surga yang pertama bagaikan tempat transit Adam
dalam perjalanannya menjadi khalifah bumi. Karena surga pertama itu bersifat
takwini yang diperoleh tanpa ikhtiar sedang surga setelah kiamat adalah hasil
perjuangan dan mujahadah.
Demikian juga dengan nisbah takwini kepada Nabi Muhammad
tidak akan memuliakan seseorang kecuali jika ia mampu membuktikan sebagai
cerminan akhlak dan perilaku beliau. Setelah Allah menunjukkan sunnah-Nya yaitu dijadikannya manusia
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal, hal inilah yang
ditekankan Allah dengan firman-Nya: Inna
akramakum ‘indallahi atqaakum (sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah
diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa).
Lebih dari itu, selain klaim takwini sebagai umat Muhammad tidak
menjadi bukti kemuliaan, sebaliknya, itu seharusnya menciptakan kesadaran akan
tanggung jawab besar dipundak umat bersangkutan. Bukankah klaim kemuliaan
berdasar hukum takwini juga pernah
dilakukan oleh oleh Iblis saat ia mengatakan: “Aku lebih baik dari dia (Adam)
karena Kau ciptakan aku dari api sedang Kau ciptakan dia dari tanah!”. Hukum takwini tidak menjadikan api lebih mulia
dari tanah.
Maka umat Muhammad adalah umat yang
menisbahkan dirinya kepada beliau secara tasyri’i
(kesetiaan terhadap syariatnya) yang harus diwujudkan dengan perjuangan
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan.
Itulah yang menentukan kemuliaan satu umat sehingga layak disebut
sebagai umat Muhammad. Dalam hal ini menjadi umat Muhammad adalah pilihan.
Allah berfirman: “Sungguh telah kami bentangkan jalannya bagi manusia, terserah
apakah ia akan akan bersyukur atau akan ingkar. Adanya alternatif yang
melahirkan perjuangan untuk memilih yang terbaik meskipun berat dijalani
merupakan tolak ukur kemuliaan seseorang atau satu umat.
Apalah artinya menjadi umat
Muhammad secara takwini jika secara tasyri’i umat tersebut menentang hukum
syariatnya. Hal ini mengingatkan kita akan logika Iblis yang riwayatnya sempat
dinukil oleh Syeikh Jawad Mughniyah dalam kitab tafsir Al Kasyif. Dalam riwayat
itu Iblis berkata kepada Nabi Muhammad saw.: “…sesungguhnya bukan aku yang
harus meminta maaf kepada Allah tapi Dialah yang harus minta maaf kepadaku”, “Mengapa
demikian?”, tanya Nabi. Iblis berkata: “Aku tidak mau sujud kepada Adam karena
aku hanya ingin mempersembahkan sujudku hanya kepada Allah. Sejak kapan ikhlas
itu adalah dosa?”, Kata Nabi: “Tidak mungkin keikhlasan dicapai dengan
pengingkaran akan perintah”.
Walhasil, sejatinya umat Muhammad
adalah umat yang berjuang melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi
segala larangannya, bukan hanya klaim takwini
seperti sebagian pendapat yang sering kita temui dalam masyarakat kita.
Setiap fa’iliyah (aksi)selalu berhubungan dengan qabiliyah (reaksi penerima aksi). Sebagai contoh, api memiliki aksi
untuk membakar segala sesuatu yang bersentuhan dengannya namun terbakarnya
sesuatu juga dipengaruhi oleh benda yang terkena api. Proses terbakarnya
secarik kertas akan terjadi ketika ada api dan kertas dalam keadaan kering.
Jika kertas tersebut kita basahi secara sempurna maka api tidak akan
membakarnya.
Artinya rahmat universal yang datang bersama Nabi Muhammad memang
diperuntukkan bagi seluruh semesta, namun kasih sayang ilahi itu hanya akan
dinikmati umat yang membuka hati untuk menerimanya dengan ikhlas dan taslim
(berserah diri) serta menjadikan Nabi sebagai panutan dan panduan hidup dalam
mencapai kesempurnaan penghambaan.
Saya akan akhiri pembicaraan kita
dengan sebuah riwayat yang juga dinukil dalm tafsir Kasyif dimana Iblis berkata
kepada Nabi Muhammad: “Allah berfirman: “Dan
kasih sayang-Ku mencakup segala sesuatu.
Pertanyaanku adalah: “Apakah aku termasuk sesuatu atau bukan? Jika aku adalah sesuatu
maka aku juga layak dapat rahmat-Nya dalam bentuk pengampunan. Jika aku bukan sesuatu
berarti aku tidak ada (karena selain Allah dalah sesuatu) dan yang tidak ada
tidak bisa disiksa atau diberi pahala?”. Nabi menjawab “Rahmat Allah meliputi
segala sesuatu yang layak mendapatkannya”.
Kenapa Allah dan rasulNya marah kepada umat Muhammad spserti yg tertera pada ayat-ayat:
ReplyDeleteÙˆَÙ‚َالَ ٱلرَّسُولُ ÙŠَÙ€ٰرَبِّ Ø¥ِÙ†َّ Ù‚َÙˆۡÙ…ِÙ‰ ٱتَّØ®َØ°ُواْ Ù‡َÙ€ٰØ°َا ٱلۡÙ‚ُرۡØ¡َانَ Ù…َÙ‡ۡجُورً۬ا
Dan berkata rasul, Ya Tuhanku sesungguhnya kaum-ku (Kaum Muhammad) yang menjadikan kitab Al-Quran ini sebagai ilmu yg dibuang dan ditinggalkan." (25:30)
ÙˆَÙƒَØ°َّبَ بِÙ‡ِÛ¦ Ù‚َÙˆۡÙ…ُÙƒَ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ ٱلۡØَÙ‚ُّۚ Ù‚ُÙ„ Ù„َّسۡتُ عَÙ„َÙŠۡÙƒُÙ… بِÙˆَÙƒِيلٍ۬
Tetapi "Kaum engkau" (Wahai Muhammad) yang mendustakan kitab Al-Quran ini, padahal ianya adalah satu kebenaran, . Katakanlah: Aku bukanlah orang yang ditugaskan menjaga urusan kamu. " (6:66)
Minta sedikit pencerahan.