DS018-SEKILAS BID'AH HASANAH
Setelah
munculnya fenomena pembid’ahan yang dituduhkan oleh kelompok yang mengaku sebagai para pahlawan tauhid terhadap orang-orang yang melakukan banyak perkara yang dianggap tidak ada
pada jaman Rasulullah saw. sehingga mempraktekkannya adalah bentuk kesesatan yang nyata, maka kata bid'ah menjadi trending topic di kalangan masyarakat.
Inovasi yang tidak memenuhi syarat tersebut adalah bid’ah dhalalah yang akan menjerumuskan pelakunya ke neraka.
Karena konsekwensi dari fenomena
tersebut, kaum kaum muslimin dihadapkan kepada masalah baru yaitu munculnya
sekat-sekat yang tidak logis bagi setiap ruang gerak mereka. Bukankah Nabi
tidak makan menggunakan sendok?, bukankah beliau tidak naik motor?, bukankah
Rasul tidak belanja di Mall?, dan masih banyak permasalahan lain yang timbul
akibat tuduhan bid’ah yang ditetapkan dengan standar yang tidak jelas
dan secara tekhnis cenderung tidak logis.
Bid’ah
adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari kata kerja ba-da-’a yang
berarti menciptakan sesuatu yang baru yang bersifat inovatif. Sebagaimana
istilah ini sering digunakan, inovasi pastilah berhubungan dengan perkara yang
belum pernah ada sebelumnya (baru maupun asembling) karena hal itu adalah bentuk solusi kreatif yang yang
muncul bersamaan dengan kemunculan permasalahan-permasalahan baru. Berdasarkan pengertian
ini, dan dengan menilik manusia sebagai mahkluk dinamis dalam gerak dan pikir, dapatlah dipahami bahwa bid’ah bukan hanya boleh dilakukan tapi juga wajib
untuk dilakukan agar agama selalu actual dan tidak menjadi korban pembodohan.
Disinilah kalangan beku akal kebingungan dalam menghadapi dinamika kehidupan yang ada di hadapan mereka. Mereka terlanjur mengeluarkan statement: kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin naar (semua bid’ah adalah sesat dans etiap kesesatan akan masuk neraka…) sedangkan dinamika adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Disinilah kalangan beku akal kebingungan dalam menghadapi dinamika kehidupan yang ada di hadapan mereka. Mereka terlanjur mengeluarkan statement: kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin naar (semua bid’ah adalah sesat dans etiap kesesatan akan masuk neraka…) sedangkan dinamika adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Barangkali
tidak berlebihan jika kita katakan bahwa salah satu sebab merebaknya islamisme
adalah paham kebekuan akal seperti ini. Mereka kehilangan substansi dalam
pemahaman mereka tentang Islam dan melihat segala sesuatu dengan bingkai kasus
dan bukan kaidah dan rumus. Mereka tidak mampu memahami permasalahan secara
dinamis mengikuti dinamika manusia dan pemikirannya yang selalu up to date.
Hal
ini mengingatkan kita akan kelebihan manusia dibanding malaikat dimana saat
Allah menciptakan Adam as. dan diuji bersama para malaikat dengan beberapa
pertanyaan langit, manusia terbukti mampu menjawab setiap pertanyaan Allah
dengan sangat inovatif . Mengapa inovatif?, karena saat malaikat gagal menjawab,
mereka mengakui stagnasi pemahaman pada batas tertentu saja atau dengan kata
lain mereka tidak memiliki kemampuan ‘mengolah data’ menjadi kesimpulan. Dengarkan
pengakuan malaikat akan hal itu: “Ya Tuhanku, tiada yang kami ketahui selain
apa yang telah Kau ajarkan kepada kami…”. (Q.S. Al Baqarah)
Manusia-manusia
jumud itu kini terjebak dalam dilema antara konsekwensi pernyataan
tentang bid’ah sesat dalam inovasi dan munculnya berbagai kesulitan hidup yang
dihadapi jika tetap bersikukuh pada stagnasi.
Untuk
mengatasi ‘rasa bersalah’ dan agar terbebas dari kesulitan maka diciptakan qismah
(kasifikasi) baru dimana mereka membagi menjadi dua yaitu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah sayyi-ah
atau dhalalah (bid’ah yang buruk dan sesat), meskipun untuk itu mereka
harus menggugurkan pernyataan awal bahwa setiap bid’ah adalah kesesasatan.
Namun demikian, masalah
yang lain muncul terutama ketika mereka kebingungan dalam menentukan tolok
ukur apakah satu perbuatan termasuk bid’ah baik atau bid’ah sesat.
Maka sejarah terulang kembali, dimana sekelompok orang mengaggap bid’ahnya adalah hasanah sedang bid’ah yang dilakukan orang lain adalah sayyi-ah/dhalalah berdasarkan kepentingan kelompok tertentu.
Maka sejarah terulang kembali, dimana sekelompok orang mengaggap bid’ahnya adalah hasanah sedang bid’ah yang dilakukan orang lain adalah sayyi-ah/dhalalah berdasarkan kepentingan kelompok tertentu.
Sejatinya
setiap bid’ah adalah bid’ah hasanah selama ada dua syarat berikut:
1.
Tidak bertentangan
dengan nash yang jelas.
2.
Tidak menisbahkan
kepada musyari’ (duta syariat langit) sebelum ada bukti meyakinkan.
Inovasi yang tidak memenuhi syarat tersebut adalah bid’ah dhalalah yang akan menjerumuskan pelakunya ke neraka.
No comments