DS045-PASCA GAGALNYA TAUBAT (BAG.1) :
Taubat,
makrifat manusia akan dirinya
Kita
diajarkan untuk memulai setiap pekerjaan kita dengan menyebut nama Allah yang
berdimensi jamalaiyah yaitu rahman dan Rahim yang
sekaligus merupakan ta’awudz (perlindungan) dari murka dan azabnya. Dalam
kalimat itu kita berharap agar Allah memperlakukan kita (dalam segala keadaan)
dengan dimensi kasih sayang yang melampaui dimensi keadilan. Dalam doa Jausyan
Kabir (sebagai doa yang berisikan seruan-seruan dengan nama-nama mulia-Nya),
misalnya, banyak kita temukan ajaran seruan yang menguatkan hakikat ini,
seperti ya man laa yukhafu illa ‘adluh ! (wahai yang tidak ditakuti
kecuali keadilan-Nya), ya man sabaqat rahmatuhu ghadhabah ! (wahai yang
kasih-Nya selalu mendahului murka-Nya), ya man laa yurja illa fadhluh !
(wahai yang tidak diharapkan kecuali kemurahan-Nya) dan sebagainya. Tentunya
asma-Nya yang lain yang berdimensi jalaliyah seperti ya qawiy, ya
mutakabbir, ya jalil dan sebagainya.
Dalam
interaksi dengan Allah, memang tidak salah jika kita selalu mengedepankan
pandangan bahwa Dialah Dzat yang pengasih dan penuh maaf. Selain karena memang
begitulah hakikat salah satu dimensi wujud-Nya, hal itu pula yang menjadikan
hidup kita senantiasa dipenuhi dengan harapan akan keselamatan bahkan setelah
kesalahan-kesalahan yang menimbulkan murka.
Namun
demikian pandangan dari sisi jamaliyah saja seringkali menjerumuskan kita ke
dalam lembah ‘tak tahu diri’. Maksudnya, kelalaian manusia sebagai hamba
terhadap dimensi kekurangannya seringkali menjadikannya kehilangan etika saat
melakukan interaksi dengan Sang Pencipta. Kita selalu melihat doa sebagai ajang
permohonan dan permintaan yang tak terbatas dengan hanya mengingat bahwasannya
Allah maha kaya lagi maha memberi. Kondisi ini membuat kita kehilangan kesadaran
akan segala bentuk kekurangan dan kelalaian dalam penghambaan, padahal semua
itu sangat mempengaruhi ijabah bagi setiap panjatan doa kita. Lebih dari
itu, kesadaraan diri itulah yang menjadi kunci kwalitas penghambaan kita kepada
Allah. Bukankah dalam hadits disebutkan bahwa barangsiapa yang mengenal
dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Hal ini sejalan dengan sabda Imam
Ali: Allah akan menyayangi orang yang tahu dirinya berasal darimana, sedang
berada di mana dan akan menuju kemana”.
Taubat
yang benar adalah taubat yang berlandaskan kesadaran akan kekurangan kita yang
menumbuhkan kepasrahan diri akan kemutlakan Tuhan dalam segala keadaan. Tanpa
hal itu, tidak menutup kemungkinan bahwa setiap lantunan doa kita hanya akan
menjadi wujud kemunafikan hati dalam berinteraksi dengan Yang Maha Tahu.
Taubat,
regulasi syariat yang teramat berat
Al
Quran adalah kitab Allah yang disepakati secara mutawatir dan meyakinkan bahwa hukum-hukumnya
mewakili hukum-hukum yang dikehendaki Allah. Barangsiapa yang menyimpang
darinya maka ia telah menyimpang dari kebenaran. Bahkan Ahlul Bait as. telah
berpesan agar setiap perselisihan masalah dirujuk kepada hadits (riwayat) para
perawi hadits mereka selama tidak bertentangan yang jelas dengan muhkamat
Al Quran dan jika sampai terjadi pertentangan dengan Al Quran maka hendaklah
riwayat tersebut dicampakkan jauh-jauh. Dari ilustrasi diatas, kita mendapatkan
gambaran bahwa Al Quran, sebagai kitab samawi, harus menjadi acuan dalam setiap
aktifitas kita, baik hablun minallah (ibadah) maupun hablun minannas
(mu’amalah).
Dalam
bagian ini kita akan membicarakan taubat dalam regulasi syariat sebagaimana
yang termaktub dalam Al Quran agar kita mengetahui betapa pertaubatan merupakan
perkara sakral dan membutuhkan usaha maksimal dan tak kenal lelah. Seandainya
setiap orang tahu sulitnya mendapatkan pengabulan taubat niscaya ia tidak akan
pernah melakukan dosa dan pelanggaran. Dalam surat An Nisa:17-18 Allah
menjelaskan hakikat taubat yang akan membuat kita terhenyak saat mengetahuinya
karena dengannya kita tahu betapa taubat kita nyaris mustahil diterima dengan
regulasi yang termaktub dalam ayat tersebut.
Allah
berfirman:
إِنَّمَا
التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ
يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُولَٰئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ
اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Sesungguhnya
taubat itu hanya kepada Allah dan berlaku bagi orang-orang yang melakukan
sebuah keburukan, karena ketidaktahuan serta bertaubat dengan segera. Merkalah yang akan
diterima taubatnya oleh Allah dan Allah maha tahu lagi maha bijaksana.
Dan
tidak termasuk taubat bagi orang-orang yang melakukan banyak keburukan hingga
ajal mendatangi salah seorang diantara mereka dan saat itu ia berkata: “Aku
bertaubat sekarang!” demikian juga tidak berlaku bagi orang-orang yang mati
dalam kekafiran. Kami telah menyedikan siksa yang pedih bagi mereka. (Q.S. An Nisa: 17-18)
Jika
kita perhatikan, kedua ayat diatas menjelaskan regulasi yang harus dijalani
pendosa dan syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk mencapai pengampunan:
1.
Taubat
berlaku bagi satu dosa (as-suu-u) dan bukan pengulangan dosa-dosa (as
sayyi-aat)
2.
Taubat
berlaku bagi dosa yang dilakukan akibat ketidaktahuan (bijahaalatin)
bukan yang dilakukan dengan kesadaran dan pengetahuan.
3.
Taubat
hanya diterima jika segera dilakukan (min qariibin) bukan yang
dilambat-lambatkan, bahkan hingga ajal menjemput baru bertaubat (inni tubtul
aana)
Dengan
regulasi yang termaktub dalam kedua ayat suci diatas, masihkah kita yakin bahwa
taubat kita akan diterima Allah?, apakah hanya satu dosa kemudian kita
bertaubat atau banyak dosa kita kumpulkan dan baru setelah itu kita bertaubat?,
apakah dosa yang kita lakukan merupakan akibat ketidaktahuan atau kesengajaan
yang diremehkan?, apakah kita segera bertaubat setelah melakukan dosa atau
melambat-lambatkan taubat kita?.
Jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan itu membuat kita semakin yakin bahwa mustahil bagi
kita untuk mendapatkan pengabulan atas taubat kita.
Pada
titik inilah kita sampai pada kondisi putus asa dan hanya mampu mengatakan: Ilahi
fa kaifa lii (wahai Tuhanku, bagaimana dengan nasibku)?. Pada
kondisi inilah kita hanya bisa pasrah dan berserah kepada keputusan-Nya yang
bisa kita prediksikan hasilnya.
Mencari
celah di luar regulasi
Keputusasaan akan pengabulan pertaubatan kita inilah yang pada
akhirnya melahirkan rintihan bernuansa harapan akan sesuatu di luar regulasi
tersebut yang akan menyelamatkan kita. Harapan itu terwakili oleh seruan kita
dalam salah satu bagian doa Jausyan Kabir, ya man laa yurja illa fadhluh, ya
man laa yukhafu illa ‘adluh (wahai yang tiada diharapkan selain kemurahan-Nya,
wahai yang tiada ditakuti selain keadilan-Nya!)
Kepasrahan
membuat kita sadar akan hakikat lain yang sangat lekat dengan dimensi
kelembutan Allah. Sebuah dimensi dengan aura yang memberikan secercah harapan
baru pasca kegagalan kita melalui regulasi pertaubatan yang sangat, bahkan
mustahil, untuk kita penuhi persyaratannya. Dimensi itu adalah dimensi rahmat
(kasih sayang) yang merupakan salah satu dimensi jamaliyah Allah.
Dalam
hal ini kita berusaha untuk melakukan segala sesuatu yang menumbuhkan kasih dan
sayang Allah kepada kita dengan mengidentifikasi hal-hal yang dicintai Allah
dan membedakannya dengan perkara-perkara yang menimbulkan murka-Nya.
Dalam
keadaan seperti ini kita mengakui segala kekurangan dan kelemahan kita hingga
kita mampu merasakan keagungan-Nya. Hal itu tidak lepas dari kenyataan bahwa
manusia adalah makhluk yang menilai segala sesuatu dengan kacamata relatif,
dimana ia menilai besar kecilnya sesuatu setelah membandingkannya dengan
sesuatu yang lain.
Dalam
hal ini, manusia juga membandingkan antara diri dan Tuhannya. Semakin ia
merasakan kehinaan dan kekurangan dirinya maka ia akan segera merasa betapa
agung dan sempurna Tuhannya. Demikian sebaliknya, saat ia merasa dirinya agung
dan sempurna maka ia sedang menganggap Tuhan tidak sebagaimana mestinya.
Barangkali itulah maksud dari hadits bahwa barangsiapa mengenal dirinya maka ia
akan mengenal Tuhannya.
Jadi
kasih sayang Allah akan diraih oleh manusia yang memahami posisi wujudnya dan
berusaha bersandar kepada wujud paling sempurna dengan merasakan keagungan-Nya
dalam diri hingga iapun merasa hinda dan tidak memiliki apa-apa, laa haula
walaa quwwata illa billahi…..
Bersambung.....
No comments