SAKINAH001-BERHATI-HATILAH MEMBUAT KOMITMEN
Sepasang calon pengantin telah mantab untuk mengucapkan ijab dan qabul. Keduanya telah saling menyayangi dan mencintai dan berjanji akan hidup bersama hingga maut memisahkan keduanya. Prosesi pernikahan berlangsung dengan lancar dan tiada halangan yang mengganggu.
Bulan pertama benar-benar menjadi bulan penuh madu dan mekar bunga seakan tiada kebahagiaan yang setara dengan kebahagiaan keduanya.
Tapi entah mengapa, memasuki bulan kedua suasana tidak lagi sama. Pertengkaran demi pertengkaran selalu mewarnai keluar mereka. Nikmat telah berubah jadi kiamat, cinta berubah menjadi bara dan kini surga berubah menjadi neraka.
Ironisnya, pertengkaran yang hebat sering terjadi hanya terpicu masalah sepele yang tidak layak untuk diperjuangkan dengan adu mulut dan kemarahan.
Ironisnya, pertengkaran yang hebat sering terjadi hanya terpicu masalah sepele yang tidak layak untuk diperjuangkan dengan adu mulut dan kemarahan.
Sekilas tidak ada yang salah dengan keluarga baru itu mengingat mereka tinggal di rumah yang cukup bagus bahkan cenderung mewah dengan mobil keluarga terparkir di garasinya. Semua itu menunjukkan betapa sang suami memiliki penghasilan yang terbilang mapan selain memiliki rupa yang cukup tampan. Demikian juga dengan sang isteri, wajahnya cantik dan pandai mengurus rumah tangga.
Siapapun yang melihatnya akan memandang keluarga itu sebagai keluarga sempurna dan ideal.
Yang menarik adalah, dalam setiap pertengkaran selalu terlontar kata-kata: "kamu telah ingkar janji!"
Para tetangga yang selalu mendengar pertengkaran mereka menduga-duga bahwa salah satu atau keduanya pasti melakukan perbuatan selingkuh yang merusak janji suci perkawinan mereka. Namun pada saat yang sama, mereka tidak pernah mendapati bukti tentang hal itu. Sang suami adalah muslim yang cukup menjaga agamanya dengan kebiasaannya shalat di mushallah komplek dan demikian juga sang isteri yang memang seorang ibu rumah tangga yang bertanggung jawab.
Tetangga juga tidak pernah melihat keduanya menerima tamu lawan jenis dalam rumah di saat pasangannya tidak berada di rumah.
Singkat kata, tidak ada alibi yang menguatkan dugaan liar masyarakat, dalam hal ini ibu-ibu komplek, tentang tindakan asusila yang yang dilakukan keduanya.
Sampai pada suatu saat, pertengkaran memuncak hingga masing-masing menghadirkan anggota keluarga yang dituakan untuk ikut serta menyelesaikan masalah rumah tangga itu. Dari gelagat yang tampak, sepertinya perceraian tidak bisa terelakkan lagi. Pernikahan yang baru seumur jagung itu pun berada di tebing kehancuran. Dua manusia yang saling mencintai sebentar lagi akan menjadi seteru di pengadilan agama. Bunga-bunga kini layu, taman indah pun gersang sudah dan sungai madu cinta kini kering tak lagi mengairi.
Sebelum kedua pihak membawa masalah ini ke pengadilan agama, salah seorang dari mereka mengusulkan agar dilakukan mediasi informal dengan mendatangkan seorang ustadz yang mampu memberikan nasihat sebelum permasalahan ini dibawa ke ranah hukum agama.
Waktu pertemuan dengan sang ustadz pun tiba. Di hadapan ustadz kharismatik itu, kedua orang yang berseteru yang sebelumnya bersatu dalam cinta itu mulai mengisahkan keluhannya. Masing-masing bersemangat dan menggebu untuk mempertahankan kebenaran sendiri. Argumentasi demi argumentasi meluncur bagai anak panah yang berseliweran di hadapan wajah ustadz yang dengan sabar mendengar dan sesekali tersenyum seperti menemukan akar permasalahannya. Ustadz sengaja membiarkan keduanya mengeluarkan semua sumbatan hati yang seakan menemukan penyaluran.
Sampai beberapa saat hingga keduanya kelelahan dan terdiam menunggu fatwa yang, diharapkan, akan mendukungnya.
Setelah suasana hening dan nyaris hanya dengusan nafas dua manusia kelelahan seperti selesai melakukan perjalanan panjang, ustadz berkata:
Setelah aku mendengar semua yang kalian ceritakan, aku mulai memahami apa yang terjadi, Karena itu ijinkan saya bertanya: Apakah kalian saling mencintai sebelum pernikahan?
Hampir serempak, keduanya menjawab: Tidak ada yang menyamai cinta kami.
Ustadz: Apakah masing-masing dari kalian mencintai kebaikan pasangan?
Pasangan : Ya !
Ustadz : Apakah masing-masing dari kalian telah siap memahami kekurangan pasangan selain kelebihan dan kebaikannya?
Pasangan :Memang seperti itulah janji kami, untuk mencintai semua yang dimiliki pasangan kami hingga hingga maut memisahkan.
Ustadz : Jika demikian, mengapa bisa terjadi pertengkaran yang nyaris memisahkan hubungan dan ikatan janji kalian?
Pasangan (isteri) : Karena dia mengingkari janjinya!
pasangan (suami) : Tapi dia juga mengingkari janji yang sama!
Keadaan mulai memanas seakan dua tanduk kembali muncul di kepala keduanya jika ustada tidak menyiramnya dengan nasehat yang menyejukkan.
Ustadz: Ijinkan saya tahu, janji apa yang telah kalian buat hingga pelanggarannya tidak termaafkan dan termaklumi?
Pasangan (isteri): Kami berjanji sebelum menikah bahwa jika kami menikah maka tidak boleh ada marah diantara kami supaya keluarga kami sakinah dan penuh cinta kasih. Awalnya semua berjalan sebagaimana harapan, namun setelah beberapa waktu, dia (suami) pulang kerja dengan muka masam dan menjawab pertanyaan saya dengan ketus dan marah ketika saya mengingatkan. Bukankah itu melanggar janji yang sudah kami buat bersama?
Pasangan (suami): Coba ustadz bayangkan, saya capek sepulang kerja yang sangat menyita tenaga saya, tapi sesampai di rumah tidak saya dapati barang secangkir kopi untuk meredakan kepenatan saya. Padahal saya yang telah berjuang untuk menghidupi keluarga. Ketika saya tegur, dia (isteri) marah dan mengatakan bahwa dia juga tidak kalah penat mengurusi urusan rumah tangga yang tak kunjung selesai. Dari memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan sebagainya. Bukankah itu kewajiban seorang isteri, ustadz?
Ustadz mengangguk dan mulai memahami benar duduk perkaranya. Dengan tenang ustadz berkata:
Kalian berdua tidak ada yang salah dalam menjalani kehidupan rumah tangga kalian. Hanya saja kalian telah membuat komitmen dan perjanjian yang tidak seharusnya disepakati. Idealisme kalian tentang keluarga sakinah dan cinta kasih telah mengaburkan realitas cinta. Ketika kalian membuat koitmen untuk tidak marah kepada pasangan, apapun keadaannya, maka kalian telah membatasi cinta hanya pada kelebihan-kelabihan yang dimiliki oleh pasangan. Cinta kalian menjadi tidak pure (murni) bahkan cinta kalian menjadi cinta penuh tendensi pribadi. Bukankah Allah berfirman bahwa orang beriman adalah orang yang tidak membatasi sedekahnya dengan keluasan atau kesempitan rejeki?.
Cinta haruslah menjadi cinta hingga ia mampu menghancurkan segala rintangan yang dibangun diatas sifat egois dan arogansi. Cinta tidak hanya berhubungan dengan kekaguman terhadap kesempurnaan pasangan tapi juga memahami dan memaklumi kekurngannya. Lebih dari itu, cinta yang tulus akan mampu menjadikan orang melihat kekurangan pasangan sebagai kelebihan. Masih ingatkah kalian sebuah syair dimana seorang pemuda yang memiliki kekasih yang pincang kakinya?, ia tidak pernah melihat hal itu sebagai kekurangan bahkan ia mengatakan bahwa kaki kekasihnya tidaklah pincang taoi bumi yang dipijak yang tak rata. Pemuda itu melihat ada kekurangan pada fisik kekasihnya, namun cinta telah merubah kekurangan menjadi kelebihan.
Sehubungan dengan apa yang menimpa kalian, sejatinya berjanji untuk tidak marah merupakan janji yang tidak seharusnya diucapkan karena kemarahan bukanlah kondisi kejiwaan yang bisa dihindari dalam kehidupan, apalagi kehidupan rumah tangga sebagai pertemuan dua manusia yang sangat berbeda kebiasaan.
Maka jangan berjanji untuk tidak marah tapi berjanjilah untuk saling memadamkan kemarahan pasangan pada saat marah itu datang secara spontan. Bukankah Allah berfirman bahwa kekasih-kekasih-Nya adalah para penahan amarah dengan memaafkan (memaklumi) kesalahan orang lain. Apalagi kalian adalah suami isteri yang diikat oleh janji cinta di hadapan Allah.
Untuk itu, perbaharuilah janji kalian dan biarkan cinta menyatukan kalian dalam keikhlasan rumah tangga. Biarkan anak-anak kalian merasaka kesejukan itu sebelum mendengar petuah lisan kalian. Semoga, keshalihan keluarga akan terjaga dan rumah kalian akan menjadi surga yang menenangkan bagi mereka
Siapapun yang melihatnya akan memandang keluarga itu sebagai keluarga sempurna dan ideal.
Yang menarik adalah, dalam setiap pertengkaran selalu terlontar kata-kata: "kamu telah ingkar janji!"
Para tetangga yang selalu mendengar pertengkaran mereka menduga-duga bahwa salah satu atau keduanya pasti melakukan perbuatan selingkuh yang merusak janji suci perkawinan mereka. Namun pada saat yang sama, mereka tidak pernah mendapati bukti tentang hal itu. Sang suami adalah muslim yang cukup menjaga agamanya dengan kebiasaannya shalat di mushallah komplek dan demikian juga sang isteri yang memang seorang ibu rumah tangga yang bertanggung jawab.
Tetangga juga tidak pernah melihat keduanya menerima tamu lawan jenis dalam rumah di saat pasangannya tidak berada di rumah.
Singkat kata, tidak ada alibi yang menguatkan dugaan liar masyarakat, dalam hal ini ibu-ibu komplek, tentang tindakan asusila yang yang dilakukan keduanya.
Sampai pada suatu saat, pertengkaran memuncak hingga masing-masing menghadirkan anggota keluarga yang dituakan untuk ikut serta menyelesaikan masalah rumah tangga itu. Dari gelagat yang tampak, sepertinya perceraian tidak bisa terelakkan lagi. Pernikahan yang baru seumur jagung itu pun berada di tebing kehancuran. Dua manusia yang saling mencintai sebentar lagi akan menjadi seteru di pengadilan agama. Bunga-bunga kini layu, taman indah pun gersang sudah dan sungai madu cinta kini kering tak lagi mengairi.
Sebelum kedua pihak membawa masalah ini ke pengadilan agama, salah seorang dari mereka mengusulkan agar dilakukan mediasi informal dengan mendatangkan seorang ustadz yang mampu memberikan nasihat sebelum permasalahan ini dibawa ke ranah hukum agama.
Waktu pertemuan dengan sang ustadz pun tiba. Di hadapan ustadz kharismatik itu, kedua orang yang berseteru yang sebelumnya bersatu dalam cinta itu mulai mengisahkan keluhannya. Masing-masing bersemangat dan menggebu untuk mempertahankan kebenaran sendiri. Argumentasi demi argumentasi meluncur bagai anak panah yang berseliweran di hadapan wajah ustadz yang dengan sabar mendengar dan sesekali tersenyum seperti menemukan akar permasalahannya. Ustadz sengaja membiarkan keduanya mengeluarkan semua sumbatan hati yang seakan menemukan penyaluran.
Sampai beberapa saat hingga keduanya kelelahan dan terdiam menunggu fatwa yang, diharapkan, akan mendukungnya.
Setelah suasana hening dan nyaris hanya dengusan nafas dua manusia kelelahan seperti selesai melakukan perjalanan panjang, ustadz berkata:
Setelah aku mendengar semua yang kalian ceritakan, aku mulai memahami apa yang terjadi, Karena itu ijinkan saya bertanya: Apakah kalian saling mencintai sebelum pernikahan?
Hampir serempak, keduanya menjawab: Tidak ada yang menyamai cinta kami.
Ustadz: Apakah masing-masing dari kalian mencintai kebaikan pasangan?
Pasangan : Ya !
Ustadz : Apakah masing-masing dari kalian telah siap memahami kekurangan pasangan selain kelebihan dan kebaikannya?
Pasangan :Memang seperti itulah janji kami, untuk mencintai semua yang dimiliki pasangan kami hingga hingga maut memisahkan.
Ustadz : Jika demikian, mengapa bisa terjadi pertengkaran yang nyaris memisahkan hubungan dan ikatan janji kalian?
Pasangan (isteri) : Karena dia mengingkari janjinya!
pasangan (suami) : Tapi dia juga mengingkari janji yang sama!
Keadaan mulai memanas seakan dua tanduk kembali muncul di kepala keduanya jika ustada tidak menyiramnya dengan nasehat yang menyejukkan.
Ustadz: Ijinkan saya tahu, janji apa yang telah kalian buat hingga pelanggarannya tidak termaafkan dan termaklumi?
Pasangan (isteri): Kami berjanji sebelum menikah bahwa jika kami menikah maka tidak boleh ada marah diantara kami supaya keluarga kami sakinah dan penuh cinta kasih. Awalnya semua berjalan sebagaimana harapan, namun setelah beberapa waktu, dia (suami) pulang kerja dengan muka masam dan menjawab pertanyaan saya dengan ketus dan marah ketika saya mengingatkan. Bukankah itu melanggar janji yang sudah kami buat bersama?
Pasangan (suami): Coba ustadz bayangkan, saya capek sepulang kerja yang sangat menyita tenaga saya, tapi sesampai di rumah tidak saya dapati barang secangkir kopi untuk meredakan kepenatan saya. Padahal saya yang telah berjuang untuk menghidupi keluarga. Ketika saya tegur, dia (isteri) marah dan mengatakan bahwa dia juga tidak kalah penat mengurusi urusan rumah tangga yang tak kunjung selesai. Dari memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan sebagainya. Bukankah itu kewajiban seorang isteri, ustadz?
Ustadz mengangguk dan mulai memahami benar duduk perkaranya. Dengan tenang ustadz berkata:
Kalian berdua tidak ada yang salah dalam menjalani kehidupan rumah tangga kalian. Hanya saja kalian telah membuat komitmen dan perjanjian yang tidak seharusnya disepakati. Idealisme kalian tentang keluarga sakinah dan cinta kasih telah mengaburkan realitas cinta. Ketika kalian membuat koitmen untuk tidak marah kepada pasangan, apapun keadaannya, maka kalian telah membatasi cinta hanya pada kelebihan-kelabihan yang dimiliki oleh pasangan. Cinta kalian menjadi tidak pure (murni) bahkan cinta kalian menjadi cinta penuh tendensi pribadi. Bukankah Allah berfirman bahwa orang beriman adalah orang yang tidak membatasi sedekahnya dengan keluasan atau kesempitan rejeki?.
Cinta haruslah menjadi cinta hingga ia mampu menghancurkan segala rintangan yang dibangun diatas sifat egois dan arogansi. Cinta tidak hanya berhubungan dengan kekaguman terhadap kesempurnaan pasangan tapi juga memahami dan memaklumi kekurngannya. Lebih dari itu, cinta yang tulus akan mampu menjadikan orang melihat kekurangan pasangan sebagai kelebihan. Masih ingatkah kalian sebuah syair dimana seorang pemuda yang memiliki kekasih yang pincang kakinya?, ia tidak pernah melihat hal itu sebagai kekurangan bahkan ia mengatakan bahwa kaki kekasihnya tidaklah pincang taoi bumi yang dipijak yang tak rata. Pemuda itu melihat ada kekurangan pada fisik kekasihnya, namun cinta telah merubah kekurangan menjadi kelebihan.
Sehubungan dengan apa yang menimpa kalian, sejatinya berjanji untuk tidak marah merupakan janji yang tidak seharusnya diucapkan karena kemarahan bukanlah kondisi kejiwaan yang bisa dihindari dalam kehidupan, apalagi kehidupan rumah tangga sebagai pertemuan dua manusia yang sangat berbeda kebiasaan.
Maka jangan berjanji untuk tidak marah tapi berjanjilah untuk saling memadamkan kemarahan pasangan pada saat marah itu datang secara spontan. Bukankah Allah berfirman bahwa kekasih-kekasih-Nya adalah para penahan amarah dengan memaafkan (memaklumi) kesalahan orang lain. Apalagi kalian adalah suami isteri yang diikat oleh janji cinta di hadapan Allah.
Untuk itu, perbaharuilah janji kalian dan biarkan cinta menyatukan kalian dalam keikhlasan rumah tangga. Biarkan anak-anak kalian merasaka kesejukan itu sebelum mendengar petuah lisan kalian. Semoga, keshalihan keluarga akan terjaga dan rumah kalian akan menjadi surga yang menenangkan bagi mereka
اللهم صل على سيدنا Ù…Øمد
ReplyDeleteUniversity of Jordan
http://www.ju.edu.jo/home.aspx