SAKINAH002-JANGAN NODAI KEKHALIFAHANKU
Dalam sebuah rumah sederhana hiduplah sepasang suami isteri dengan dua orang anak. Mereka hidup sebagai keluarga muslim yang bahagia mengingat, dalam kesederhanaan itu, mereka masih setia berpegang pada nilai-nilai syariat dan menjaga norma-norma agama Islam.
Sang suami menjalankan kewajiban kekhalifahan keluarga dengan sangat baik dan bertanggungjawab. Semua kebutuhan keluarga berusaha ia cukupi meski tetap dalam kesederhanaan.
Kerja keras dan membanting tulang ia lakukan dengan ikhlas hingga kepenatan tubuh tidak begitu terasa. Setiap tetes keringat melahirkan kepuasan batin dan desah napas ia rasakan bagai tasbih syukur atas nikmat. Setiap pulang dari pekerjaannya, ia merasakan kebahagiaan karena pertemuan dengan keluarganya, manusia-manusia tercinta dalam hidupnya. Sambutan seisi anggota keluarga setiap kali ia pulang, terasa sirna segala kepenatan yang digantikan dengan kehangatan keluarga.
Indah rumah tangga semakin lengkap karena sang isteri juga seorang yang sangat bertanggungjawab terhadap kewajibannya, baik sebagai ibu bagi anak-anak atau sebagai pendamping suami. Ia selalu menyambut kedatangan suami tercinta dengan senyum kerinduan serta segelas kopi kesukaan suaminya. Semua pekerjaan rumah tangga ia kerjakan dengan niat khidmat dan ibadah. Ia tahu bahwa Rasul pernah bersabda: "Jijad seorang perempuan adalah mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya". Riwayat tersebut selalu menciptakan semangat baginya untuk mempersembahkan yang terbaik yang bisa ia lakukan.
Tidak diragukan lagi, pemandangan surgawi itu disaksikan oleh kedua anak mereka yang merasakan betapa pintu madrasah ruhani telah terbuka di hadapan mereka. Kata-kata petuah tidak lagi dibutuhkan karena pelajaran hidup yang baik telah mengalir di tubuh mereka.
Benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Ayatullah Syahid Mutahhari bahwa kegagalan dakwah dikarena seorang da'i selalu mengandalkan mulut dan telinga, dimana kita bicara dan berharap orang lain mendengarkan dan taat. Padahal dakwah terbaik dilakukan dengan mengandalkan tangan dan mata dimana kita berbuat dan biarkan orang lain menilai.
Sebuah kejadian menarik dan penuh ibrah pernah terjadi pada keluarga sakinah ini, dimana pada suatu ketika, sang isteri pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Ia baru ingat ada beberapa barang dapur yang lupa ia sediakan. Sebelum berangkat, ia berpesan pada suami dan anak-anak bahwa ia akan pergi agak lama mengingat banyak barang keperluan dapur yang harus dibeli. Setelah mendapat ijin suami iapun meninggalkan rumah menuju ke pasar.
Sang suami berinisiatif untuk membantu isterinya menyiapkan makanan untuk keluarganya, menggantikan peran isteri sementara waktu. Ia mulai mengambil peralatan dapur dan tidak beberapa lama ia sudah disibukkan dengan kegiatan khas wanita itu.
Ia mulai dengan memasak air untuk menjadi dasar hidanngan berkuah hari itu. Ia tidak merasa hina dengan pekerjaan itu bahkan ia merasa terhormat bisa mempersembahkan bantuan kepada isteri yang selama ini bersusah payah menyiapkan hidangan yang lezat dan mermacam-macam.
Saat ia sibuk memotong sayur dan lauk, karena air mendidih tak menghasilkan aroma, ia meninggalkan panci diatas kompor terlalu lama hingga air mengering dan panci yang digunakan menjarang air pun gosong menghitam.
Ia merasa bersalah atas kelalaiannya dan segera meninggalkan rumah itu menuju ke sebuah toko perabot rumah tangga untuk membeli sebuah panci dengan panci yang telah gosong. Ia membeli panci baru agar isterinya tidak mendapati panci kesayangannya hangus dan marah karenanya.
Ternyata gerak gerik sang ayah disaksikan oleh kedua anaknya yang melihat betapa ayah mereka sangat ketakutan jika isterinya tahu ia telah menghanguskan panci kesayangannya.
Perlahan kebanggan mereka terhadap kharisma sang ayah mulai memudar. Bukankah seorang kepala rumah tangga harus ditaati dan dihormati baik oleh anak maupun isterinya. Jika seorang khalifah rumah tangga melakukan kesalahan, apalagi dalam bidang yang bukan keahliannya maka kesalahan itu harus dimaklumi dan tetap harus mendapat apresiasi. Tapi mengapa yang merka saksikan malah sebaliknya. Mereka lihat ayah yang seharusnya berwibawa, kini ketakutan hanya karena sebuah panci yang gosong dalam usaha untuk membantu tugas isterinya.
Gelagat ini disadari oleh sang ayah yang menjadi sorotan tajam anak-anaknya. Ia melihat jelas raut kekecewaan di wajah mereka.
Nampaknya rasa penasaran akan sikap sang ayah mendorong mereka untuk bertanya:
Anak-anak: Wahai ayah, selama ini ayah kami pandang sebagai khalifah rumah tangga yang tegas dan berwibawa. Kami merasa bangga akan hal itu. Tapi hari ini kami lihat kewubawaan itu hilang setelah kami melihat ayah kebingungan dan khawatir akan dimarahi oleh ibu hanya karena menghanguskan sebuah panci. Bukankah ayah adalah pemimpin di rumah ini?, bukankah panci itu dibeli dengan uang hasil jerih payah ayah?, mengapa ayah begitu takut dan khawatir?
Ayah : Kemarilah wahai anak-anakku, kekhalifahan tidak berhubungan dengan kekuasaan dan wibawa yang melahirkan ketakutan orang, juga tidak berkaitan dengan kekuatan yang menundukkan kaum lemah. Kekhalifahan adalah praktek kebijaksanaan dan kearifan. Bukankah Allah Maha Kuasa tapi tidak memperlakukan hamba-hamba-Nya dengan kekuasaan itu. Dia Yang Kuasa tetap memperlakukan hamba-hamba-Nya dengan kasih sayang dan ampunan. Jika seorang khalifah melakukan kesalahan maka ia harus menanggung akibatnya bahkan akibat yang kadang lebih berat dari akibat perbuatan serupa yang dilakukan oleh rakyatnya. Itulah kekhalifahan.
Anak-anak:
Tapi mengapa ayah terlihat begitu ketakutan terhadap kemarahan ibu akibat panci kesayangannya yang hangus karena ayah?, bukankah seorang suami tidak selayaknya takut dimarahi isterinya sebagaimana isteri tidak berhak memarahi suami atas kesalahan yang tak disengaja?
Ayah:
Justeru karena ia hanya sebuah panci maka ayah menghindari kemarahan ibu kalian.
Anak-anak:
Maksud ayah?
Ayah:
Perhatikan baik-baik, yang ayah lakukan adalah salah satu tugas seorang khalifah untuk menjaga diri dari maksiat yang disebabkan masalah kecil yang tidak layak dipermasalahkan.
Ayah memang khawatir jika ibu kalian marah hanya karena sebuah panci. Karena ketika ibu kalian memarahi ayah, maka sebagai khalifah, ayah khawatir kemarahannya akan membangkitkan kemarahan dan ego ayah sebagai khalifah sehingga hilanglah sifat arif dalam diri ayah. Bukankah ayah akan sangat merugi jika kekhalifahan ini ternodai hanya oleh sebuah panci?
Ingatlah wahai anak-anakku, kelak kalian akan tahu betapa seorang khalifah haruslah memberikan pelayanan dan bukan menguasai, bukankah dalam pepatah Arab dikatakan 'pemimpin sebuah kaum sejatinya adalah pelayan mereka'?
Ingatlah bagaimana Sayyidina Ali as. mengukur cara hidupnya dengan cara hidup anggota masyarakat termiskin, padahal beliau adalah khalifah dan Bait Al Mal ada di tangannya.
Kepemimpinan adalah tanggungjawab bukan kebanggaan dan arogansi
Kerja keras dan membanting tulang ia lakukan dengan ikhlas hingga kepenatan tubuh tidak begitu terasa. Setiap tetes keringat melahirkan kepuasan batin dan desah napas ia rasakan bagai tasbih syukur atas nikmat. Setiap pulang dari pekerjaannya, ia merasakan kebahagiaan karena pertemuan dengan keluarganya, manusia-manusia tercinta dalam hidupnya. Sambutan seisi anggota keluarga setiap kali ia pulang, terasa sirna segala kepenatan yang digantikan dengan kehangatan keluarga.
Indah rumah tangga semakin lengkap karena sang isteri juga seorang yang sangat bertanggungjawab terhadap kewajibannya, baik sebagai ibu bagi anak-anak atau sebagai pendamping suami. Ia selalu menyambut kedatangan suami tercinta dengan senyum kerinduan serta segelas kopi kesukaan suaminya. Semua pekerjaan rumah tangga ia kerjakan dengan niat khidmat dan ibadah. Ia tahu bahwa Rasul pernah bersabda: "Jijad seorang perempuan adalah mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya". Riwayat tersebut selalu menciptakan semangat baginya untuk mempersembahkan yang terbaik yang bisa ia lakukan.
Tidak diragukan lagi, pemandangan surgawi itu disaksikan oleh kedua anak mereka yang merasakan betapa pintu madrasah ruhani telah terbuka di hadapan mereka. Kata-kata petuah tidak lagi dibutuhkan karena pelajaran hidup yang baik telah mengalir di tubuh mereka.
Benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Ayatullah Syahid Mutahhari bahwa kegagalan dakwah dikarena seorang da'i selalu mengandalkan mulut dan telinga, dimana kita bicara dan berharap orang lain mendengarkan dan taat. Padahal dakwah terbaik dilakukan dengan mengandalkan tangan dan mata dimana kita berbuat dan biarkan orang lain menilai.
Sebuah kejadian menarik dan penuh ibrah pernah terjadi pada keluarga sakinah ini, dimana pada suatu ketika, sang isteri pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Ia baru ingat ada beberapa barang dapur yang lupa ia sediakan. Sebelum berangkat, ia berpesan pada suami dan anak-anak bahwa ia akan pergi agak lama mengingat banyak barang keperluan dapur yang harus dibeli. Setelah mendapat ijin suami iapun meninggalkan rumah menuju ke pasar.
Sang suami berinisiatif untuk membantu isterinya menyiapkan makanan untuk keluarganya, menggantikan peran isteri sementara waktu. Ia mulai mengambil peralatan dapur dan tidak beberapa lama ia sudah disibukkan dengan kegiatan khas wanita itu.
Ia mulai dengan memasak air untuk menjadi dasar hidanngan berkuah hari itu. Ia tidak merasa hina dengan pekerjaan itu bahkan ia merasa terhormat bisa mempersembahkan bantuan kepada isteri yang selama ini bersusah payah menyiapkan hidangan yang lezat dan mermacam-macam.
Saat ia sibuk memotong sayur dan lauk, karena air mendidih tak menghasilkan aroma, ia meninggalkan panci diatas kompor terlalu lama hingga air mengering dan panci yang digunakan menjarang air pun gosong menghitam.
Ia merasa bersalah atas kelalaiannya dan segera meninggalkan rumah itu menuju ke sebuah toko perabot rumah tangga untuk membeli sebuah panci dengan panci yang telah gosong. Ia membeli panci baru agar isterinya tidak mendapati panci kesayangannya hangus dan marah karenanya.
Ternyata gerak gerik sang ayah disaksikan oleh kedua anaknya yang melihat betapa ayah mereka sangat ketakutan jika isterinya tahu ia telah menghanguskan panci kesayangannya.
Perlahan kebanggan mereka terhadap kharisma sang ayah mulai memudar. Bukankah seorang kepala rumah tangga harus ditaati dan dihormati baik oleh anak maupun isterinya. Jika seorang khalifah rumah tangga melakukan kesalahan, apalagi dalam bidang yang bukan keahliannya maka kesalahan itu harus dimaklumi dan tetap harus mendapat apresiasi. Tapi mengapa yang merka saksikan malah sebaliknya. Mereka lihat ayah yang seharusnya berwibawa, kini ketakutan hanya karena sebuah panci yang gosong dalam usaha untuk membantu tugas isterinya.
Gelagat ini disadari oleh sang ayah yang menjadi sorotan tajam anak-anaknya. Ia melihat jelas raut kekecewaan di wajah mereka.
Nampaknya rasa penasaran akan sikap sang ayah mendorong mereka untuk bertanya:
Anak-anak: Wahai ayah, selama ini ayah kami pandang sebagai khalifah rumah tangga yang tegas dan berwibawa. Kami merasa bangga akan hal itu. Tapi hari ini kami lihat kewubawaan itu hilang setelah kami melihat ayah kebingungan dan khawatir akan dimarahi oleh ibu hanya karena menghanguskan sebuah panci. Bukankah ayah adalah pemimpin di rumah ini?, bukankah panci itu dibeli dengan uang hasil jerih payah ayah?, mengapa ayah begitu takut dan khawatir?
Ayah : Kemarilah wahai anak-anakku, kekhalifahan tidak berhubungan dengan kekuasaan dan wibawa yang melahirkan ketakutan orang, juga tidak berkaitan dengan kekuatan yang menundukkan kaum lemah. Kekhalifahan adalah praktek kebijaksanaan dan kearifan. Bukankah Allah Maha Kuasa tapi tidak memperlakukan hamba-hamba-Nya dengan kekuasaan itu. Dia Yang Kuasa tetap memperlakukan hamba-hamba-Nya dengan kasih sayang dan ampunan. Jika seorang khalifah melakukan kesalahan maka ia harus menanggung akibatnya bahkan akibat yang kadang lebih berat dari akibat perbuatan serupa yang dilakukan oleh rakyatnya. Itulah kekhalifahan.
Anak-anak:
Tapi mengapa ayah terlihat begitu ketakutan terhadap kemarahan ibu akibat panci kesayangannya yang hangus karena ayah?, bukankah seorang suami tidak selayaknya takut dimarahi isterinya sebagaimana isteri tidak berhak memarahi suami atas kesalahan yang tak disengaja?
Ayah:
Justeru karena ia hanya sebuah panci maka ayah menghindari kemarahan ibu kalian.
Anak-anak:
Maksud ayah?
Ayah:
Perhatikan baik-baik, yang ayah lakukan adalah salah satu tugas seorang khalifah untuk menjaga diri dari maksiat yang disebabkan masalah kecil yang tidak layak dipermasalahkan.
Ayah memang khawatir jika ibu kalian marah hanya karena sebuah panci. Karena ketika ibu kalian memarahi ayah, maka sebagai khalifah, ayah khawatir kemarahannya akan membangkitkan kemarahan dan ego ayah sebagai khalifah sehingga hilanglah sifat arif dalam diri ayah. Bukankah ayah akan sangat merugi jika kekhalifahan ini ternodai hanya oleh sebuah panci?
Ingatlah wahai anak-anakku, kelak kalian akan tahu betapa seorang khalifah haruslah memberikan pelayanan dan bukan menguasai, bukankah dalam pepatah Arab dikatakan 'pemimpin sebuah kaum sejatinya adalah pelayan mereka'?
Ingatlah bagaimana Sayyidina Ali as. mengukur cara hidupnya dengan cara hidup anggota masyarakat termiskin, padahal beliau adalah khalifah dan Bait Al Mal ada di tangannya.
Kepemimpinan adalah tanggungjawab bukan kebanggaan dan arogansi
اللهم صل وسلم على سيدنا Ù…Øمد
ReplyDeleteUniversity of Jordan
http://www.ju.edu.jo/home.aspx
أهلا و سهلا
Delete