DS054-UJIAN ADALAH HAKIKAT KEHIDUPAN
مَنْ عَظَّمَ صِغَارَ
الْصَائِبِ ابْتَلاَهُ اللهُ بِكِبَارِهَا
Ust. Rakhmat Hidayat |
Obyektifitas dan subyektifitas
penderitaan.
Secara lughawi musibah berasal dari kata kerja “ashaaba” yang berarti menimpa. Secara
istilah, musibah adalah segala kondisi menyulitkan (masyaqqah) yang menimpa manusia atau mukallaf
secara umum.
Sampai
disini, musibah belum dapat dihukumi dengan baik dan buruk.
Karena, meski diperlukan sikap arif dan perenungan, tidak setiap kesulitan melahirkan keburukan dalam kehidupan manusia. Bahkan sebaliknya, banyak manusia yang menjadi maju dan berhasil dalam hidup setelah melalui banyak rintang dan uji. Dalam bukunya “Silsilat Ad Durus fil ‘aqidah Al Islamiyah”, Ayatullah Makarim Syiraziy mengatakan: “Salah satu hikmah dari musibah yang menimpa manusia adalah kenyataan bahwa banyak manusia tumbuh dan berkembang dalam pangkuan berbagai musykilat (kesulitan-kesulitan) yang dihadapi”. Meskipun banyak juga orang yang gagal dalam usaha menghadapi musibah yang datang kepadanya. Mereka kerap memenuhi hidup dengan keluh kesah, ratapan serta cacian kepada kehidupan, nglokro (kemalasan berjuang) atau bahkan mengingkari kenikmatan hidup yang sebelumnya pernah dan sedang ia rasakan.
Karena, meski diperlukan sikap arif dan perenungan, tidak setiap kesulitan melahirkan keburukan dalam kehidupan manusia. Bahkan sebaliknya, banyak manusia yang menjadi maju dan berhasil dalam hidup setelah melalui banyak rintang dan uji. Dalam bukunya “Silsilat Ad Durus fil ‘aqidah Al Islamiyah”, Ayatullah Makarim Syiraziy mengatakan: “Salah satu hikmah dari musibah yang menimpa manusia adalah kenyataan bahwa banyak manusia tumbuh dan berkembang dalam pangkuan berbagai musykilat (kesulitan-kesulitan) yang dihadapi”. Meskipun banyak juga orang yang gagal dalam usaha menghadapi musibah yang datang kepadanya. Mereka kerap memenuhi hidup dengan keluh kesah, ratapan serta cacian kepada kehidupan, nglokro (kemalasan berjuang) atau bahkan mengingkari kenikmatan hidup yang sebelumnya pernah dan sedang ia rasakan.
Sungguh
sebuah kenyataan yang mengajak kita merenung akan hakikat hidup, bahwa ketika
sebagian orang yang tertimpa berbagai bencana hidup masih bisa menyunggingkan
senyum di bibir mereka, sementara tidak sedikit orang yang kehilangan keceriaan
hidup dan seakan kehilangan segalanya hanya karena sakit gigi. Kenyataan diatas
memberikan kesimpulan lebih jelas dan gamblang kepada kita akan hakikat setiap
musibah yang mendera kita. Kesimpulan
itu adalah bahwa musibah bersifat obyektif sedangkan duka dan gembira
bersifat subyektif.
Hakikat hidup adalah ujian
Dalam hidup ini, manusia dihadapkan
kepada segudang pertanyaan hidup yang, disadari atau tidak, senantiasa
membutuhkan jawaban dengan segera. Dari mana asal wujudnya, apa yang harus ia
lakukan, kemana perjalanan hidup akan berakhir adalah pertanyaan-pertanyaan
pokok yang selalu menuntut jawaban dengan segera. Sedemikian pentingnya
memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sehingga langkah manusia
menuju kebahagiaan dan hakikat keberadaannya ditentukan olehnya.
Dengan
segala penampakan kehidupan duniawi yang terkadang menampakkan dirinya sebagai
hiburan yang melalaikan meski tidak sedikit yang menampakkan wujud tragis
mengiris. Kehidupan terasa indah dan memberikan kenikmatan tiada tara dan
beberapa detik kemudian kehidupan berubah menjadi sedemikian menghimpit dan
menyesakkan dada. Pantaslah jika Al Quran menyifati kehidupan sebagai permainan
yang melalaikan. Disebut permainan karena yang dihidangkan dalam nampan duniawi
bukanlah hakikat kehidupan melainkan
nina bobo dan ketenangan yang menipu serta ketakutan akan kehilangan kenikmatan
semu dan disebut melalaikan karena sedemikian indah bentuk lahir hiasan duniawi
sehingga mampu menghipnotis setiap mata lahiriyah yang tidak dituntun cahaya
hati sebagaimana mampu menciptakan tangisan atas sesuatu yang terlalu remeh
untuk ditangisi.
Sesungguhnya
setiap detik dari waktu yang kita lalui dalam hidup ini sepenuhnya adalah ujian
Allah bagi kita. Bukankah Allah
Berfirman:
“...dan tiada Kuciptakan jin
dan manusia kecuali untuk beribadah”
Jadi tujuan dasar penciptaan
manusia adalah ibadah (dengan maknanya yang luas) . Ibadah adalah melaksanakan
setiap taklif (kewajiban) makhluk terhadap Sang Khaliq. Taklif sendiri
mengandung arti masyaqqah (kesulitan). Jadi tujuan mendasar penciptaan manusia
adalah mengalami kesulitan untuk mencapai ridha-Nya.
Karena itu, manusia tidak
pernah lepas dari ujian kehidupan. Bahkan ketika kita menyangka telah lepas
dari ujian, sebenarnya kita hanya berpindah dari satu ujian ke ujian dalam
bentuk yang lain. Sebagai contoh, saat manusia terlepas dari belenggu
kemiskinan setelah ia mendapatkan harta, sebenarnya ia sedang berpindah dari
ujian kemiskinan menuju ujian kekayaan bahkan bisa kita katakan bahwa ia masuk
ke dalam ujian yang lebih berat dari sebelumnya.
BAGAIMANA MENYIKAPI UJIAN
KEHIDUPAN?
Manusia
selalu terombang-ambing oleh arus kehidupan yang tiada tentu arahnya. Saat
mendapatkan kenikmatan ia tertawa terbahak dan saat kehilangan ia menangis
meraung.
Fluktuasi spiritual yang
extrim dan tiba-tiba menciptakan gangguan dalam jiwa manusia berupa ketakutan
akan kehilangan sesuatu yang ia peroleh. Padahal naik-turunnya grafik kehidupan
adalah konsekwensi dari sifat dunia yang memperdaya dan mempermainkan.
Untuk menjaga agar hati kita
selalu stabil dan tidak dipermainkan oleh ujian kehidupan, Imam Ali as.
memberikan terapi mujarab. Imam berkata:
“Saat engkau merasakan kelezatan, ingatlah bahwa kelezatan itu akan
segera hilang. Saat engkau mendapat kenikmatan, ingatlah bahwa itu akan
berpindah (kepada orang lain) suatu saat. Ingat pula bahwa setiap badai pasti
berlalu”
Terapi yang hampir sama juga pernah
disampaikan oleh Imam Husein as. Dalam bait-bait syairnya:
Jika suatu hari, setiap amalan
dikembalikan kepada pelakunya sebagai kesempurnaan, maka akhlak mulia adalah
yang tersempurna
Jika tubuh ini tercipta hanya untuk
kematian, maka mati seseorang di jalan Allah adalah yang terindah
Jika harta dunia dikumpulkan hanya
untuk ditinggalkan, mengapa kita harus kikir ?
Jika rejeki adalah bagian yang
telah ditentukan maka tidak rakus dalam mencari adalah yang terbaik
Semakin dekat dengan ridha Allah,
akan semakin berat ujian yang harus dijalani.
“Sesungguhnya
seorang mukmin bagai dua sisi timbangan yang selalu seimbang. Setiap kali
keimanannya bertambah maka bala (ujian) yang dihadapi semakin berat”.
Semoga Allah menjaga kita dari
ketergelinciran hati.
No comments