SEKILAS AKIDAH SYIAH (1) : TAQIYAH
MUKADIMAH
Tulisan ini adalah bagian
pertama dari seri SEKILAS AKIDAH SYIAH. Semoga dapat memberikan gambaran meski
sekilas tentang akidah Syiah yang selama ini tidak diketahui masyarakat, baik
yang tersembunyi atau yang sengaja disembunyikan. Sekaligus membantah fitnah
dan isu tak berdasar tentang Syiah dan akidahnya.
Bismillahirrahmanirrahim,
Setelah peristiwa pembubaran paksa atas sebuah acara keluarga di Solo, Jawa Tengah, yang dituduh menggelar acara Syiah, oleh kelompok radikal yang mengatasnamakan agama, sudah saatnya untuk kita memberikan gambaran yang benar kepada masyarakat tentang syiah yang selalu menjadi 'bintang utama' ala FTV negeri ini dalam setiap fragmen kehidupan beragama. Barangkali bedanya, dalam cerita FTV, tokoh utama nan teraniaya selalu meraih happy ending bahkan happily ever after, namun dalam fragmen dunia nyata negeri ini, cerita tentang Syiah selalu berakhir dengan tragedi dan anti klimak.
Sedemikian burukkah
perilaku dan kebiasaan kelompok (Syiah) ini hingga selalu menjadi korban
persekusi dan dihimpit oleh berbagai bentuk intimidasi?. Madharat apa yang
ditebarkan Syiah hingga layak dilaknat dimana-mana?. Membahayakan aqidah?,
aqidah yang mana?, selemah itukah akidah kita hingga khawatir terhadap pengaruh
kelompok kecil ini?
Almarhum Ahmad Deedat yang
seorang kristolog pernah mengatakan: Kalian Sunni yang merupakan 90%
jumlah umat Islam takut kepada Syiah yang hanya 10%, padahal mereka hanya
mengatakan : "Tiada Syiah, tiada Sunnah karena yang ada hanyalah ukhuwah
Islamiyah!"
Syiah nyaris tidak diberi
ruang untuk bicara dan menanggapi tuduhan apalagi presentasi tentang akidahnya.
Padahal, jika diberi kesempatan memaparkan, secara argumentatif kelompok ini
memiliki dasar beragama yang kuat dan dipertemukan dengan logika sehat.
Secara amaliyah ibadah,
kelompok pecinta keluarga Nabi ini tidak jauh berbeda dengan kalangan
Ahlussunnah kebanyakan. Bahkan beberapa perbedaan kecil yang
dituduhkan kepada kelompok minoritas keagamaan ini sebagai penyimpangan,
sejatinya juga mewakili pendapat sebagian ulama yang menjadi rujukan mayoritas.
Misalnya, tuduhan bahwa shalat orang Syiah berbeda dengan shalat kebanyakan
orang Islam karena mereka tidak bersedekap. Kita saksikan perbedaan furu' (fikih)
ini juga terjadi diantara para imam fiqih Ahlussunnah dimana Imam Malik bin
Annas, pemuka mazhab Maliki memfatwakan ke-makruh-an bersedekap dalam
shalat, sedangkan tiga imam fikih yang lain (Syafi'i, Hanafi, Hambali)
menetapkan sedekap tidak wajib dalam shalat.
Masih terngiang di benak
kita bagaimana seorang Haikal Hasan dengan tidak fair menghembuskan
beberapa isu (baca:fitnah) usang tentang Syiah tanpa merujuk kepada official
opinion kelompok Syiah itu sendiri beberapa hari yang lalu.
Herannya lagi, sebuah stasiun TV swasta nasional menayangkannya dalam program
yang bertajuk FAKTA dan memberikan judul yang sangat profokatif saat stasiun TV
tersebut mengunggahnya di channel YouTube miliknya. Maka isu-isu basi kini
digodok kembali sebagai pendulang kebencian pemilik kepentingan atas nama agama
terhadap minoritas yang dianggap meresahkan kepentingan mereka.
Adalah wajib bagi kita
untuk bersikap adil dalam masalah ini dan menyadari bahwa fitnah adalah dosa
yang lebih buruk dari pembunuhan. Kita harus mempelajari segala sesuatu dari
sumber terpercaya untuk meyakinkan diri kita bahwa yang kita tebarkan adalah
informasi ilmiah dan buat fitnah atau hoax. Semua akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang kita tuduhkan kepada sekelompok orang atas
nama agama dan nama-Nya yang suci.
Untuk tujuan itu, dalam
tulisan berseri ini, insyaallah, akan dibahas beberapa akidah Syiah
yang sering dimanfaatkan dan dipelintir pengertiannya demi kepentingan hawa
nafsu golongan dan kerakusan terhadap harta duniawi.
TAQIYAH
لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ
الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ
فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ۗ
وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ ۗ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.
dan hanya kepada Allah kembali (mu).(QS. Imrân‘Âli [ 3 :]28)
Salah satu isu yang sering
dihembuskan sebagai usaha menyudutkan kelompok Syiah adalah keyakinan akan konsep taqiyah.
Tentunya dengan pengertian yang digiring kepada makna negatif yaitu
kemunafikan, menyembunyikan keburukan dengan menampakkan kebaikan.
Sejatinya, taqiyah,
bukanlah hal baru dalam Islam, apalagi menjadi ciri khas bagi
kelompok Islam tertentu seperti Syiah. Bahkan tidak berlebihan jika kita
melihat taqiyah sebagai tindakan natural dalam kondisi
tertentu sebagaimana akan dijelaskan.
Imam 12 dan taqiyah
Taqiyah diidentikkan dengan
Syiah karena perjalanan sejarah kehidupan para imam Ahlulbait amat kental
dengan kemazluman (teraniaya) karena kejamnya para penguasa pada jamannya.
Kezaliman penguasa pada setiap masa kepemimpinan Imam 12 dikarenakan penolakan para
Imam ma'shum untuk mengikuti keinginan penguasa tiran. Di saat yang sama mereka
tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan demi menyelamatkan agama
Allah. Mereka bisa saja melakukan konfrontasi dengan penguasa, akan tetapi
kelangsungan agama dan kebenaran yang akan jadi taruhannya.
Itulah mengapa taqiyah
menjadi atribut yang melekat pada diri mereka. Meski demikian para penguasa
selalu berusaha melenyapkan mereka karena kedudukan mereka yang mulia di hati
masyarakat meski penguasa tidak mendukungnya. Akhlak mereka menjadi magnet kuat
yang menarik siapapun yang mendekatinya. Mengingatkan kita kepada sabda
mereka: Jadilah kalian para da-i (penyeru) kami tidak dengan mulut
kalian!. Mereka dianggap oposan karena diamnya mereka adalah bahaya
bagi para tiran dan budak duniawi.
Barangkali ada sebersit
tanya dalam benak kita: Mengapa Imam Hasan Al Mujtaba tidak melakukan
konfrontasi dengan Muawiyah sedangkan Imam Husin, adiknya, menghadapi pasukan
Yazid, anak Mua'awiyah, dengan konfrontasi yang melahirkan tragedi maha
dahsyat, Tragedi Karbala?
Jawabannya telah kita
temukan pada awal tulisan ini dimana tujuan dari taqiyah adalah ishlah,
maka sikap yang diambil bisa berbeda antara satu kondisi dengan kondisi yang
lain. Karenanya perlu ditekankan bahwa kebijaksanaan dalam bersikap harus
selalu kita miliki dalam masalah ini agar kita tidak 'sembrono' tapi juga tidak
menjadi pengecut dalam membela kepentingan agama.
Bayangkan seandainya Imam
Hasan mengangkat senjata melawan Mu'awiyah!, akan terjadi pertumpahan darah tak
berdosa dari kalangan umat Muhammad mengingat masih banyak orang yang
terpedaya memposisikan Mu'awiyah sebagai amir al mukminin akibat
propaganda penguasa.
Keadaan berbeda ketika Imam
Husain berhadapan dengan Yazid, dimana umat tahu siapa Imam Husain putra Ali
bin Abi Thalib dan penerus kepemimpinan Rasulullah dan siapa Yazid, anak
Mu'awiyah bin Abu Sufyan, si peminum khamar, pemain qimar (judi)
dan berbagai berbuatan maksiat, sebagaimana dicatat oleh sejarah. Meski pada
akhirnya Imam Husain yang terbantai di Karbala namun kematiannya membuka mata
dunia Islam akan siapa yang layak disebut pemimpin. Kematian Imam Husain
berhasil menghidupkan banyak hati-hati yang mati. Pengorbanan agungnya sepadan
dengan maslahat yang dicapai yaitu dikenalnya agama Muhammad saw. hari
ini dan hingga akhir nanti.
Taqiyah bukan nifaq
Salah satu isu yang
dihembuskan dalam masalah ini: taqiyah adalah nifaq (kemunafikan). Taqiyah tidak
sama dengan nifaq karena praktek taqiyah harus dimotivasi oleh
niatan yang mulia dan agung yaitu melakukan usaha untuk mencapai kemaslahatan
yang lebih besar atau menghindari madharat yang lebih besar. Sementara nifaq
adalah niatan busuk untuk melakukan perbuatan buruk yang ditutup-tutupi dengan
kenampakan kebaikan dan keluhuran. Nifaq adalah penyakit hati
dan mazhab apapun akan mencelanya termasyuk mazhab Syiah.
Taqiyah yang dilarang
Berdasarkan hal itu maka
menjadi jelas garis pembatas antara taqiyah yang berlandaskan
niat ishlah, pembenahan dan bersifat konstruktif dan nifaq,
kebohongan yang bersifat destruktif.
Berdasarkan keterangan
diatas maka tidak menutup kemungkinan adan praktek taqiyah yang
dilarang karena tidak sesuai dengan tujuan utamanya yaitu maslahat seperti,
misalnya, taqiyahnya seorang pemimpin masyarakat yang harus
menyampaikan amanat penting kepada rakyat dimana praktek taqiyah dalam
hal ini berpotensi membingungkan mereka hingga menciptakan madharat berskala
lebih besar. Atau taqiyah yang dilakukan seseorang hanya
karena malas atau takut berjuang menegakkan keadilan, karena sebenarnya itu
bukan taqiyah tapi nifaq yang dibalut pembenaran.
Walhasil, taqiyah adalah
bagian dari syariat Islam demi menjaga keberlangsungan agama dan memeliharanya
dari kehancuran.
Taqiyah dalam kitab-kitab
hadits mu'tabar
Perlu diketahui bahwa taqiyah merupakan istilah
yang digunakan oleh para ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih dari berbagai
kalangan.
Taqiyyah bukan hanya istilah yang digunakan oleh orang Syiah.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa dibolehkannya taqiyah merupakan
ijma’ para ulama muslim sebagaimana pernyataan ulama besar Ahlus Sunnah di
bawah ini:
·
Imam
Bukhari meriwayatkan dalam Shahîhnya, tentang firman Allah, kecuali orang-orang
yang dipaksa sedangkan hatinya tetap beriman, barang siapa teguh dalam
kekafirannya, murka Allah menimpanya dan bagi mereka siksaan yang pedih. (QS.
Al-Nahl [16]: 106), dan kecuali karena siasat (tat-taquh) untuk melindungi diri
(tuqatan) dari mereka (QS. Âli ‘Imrân [3]: 28) adalah taqiyah. Allah juga
berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan
bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas
di negeri.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu
dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan
Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik
laki-laki atau wanita atau pun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan
tidak mengetahui jalan. Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkan mereka. Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Nisâ’ [4]: 97-99) Maka Allah memaafkan
orang-orang tertindas yang terpaksa tidak melakukan perintah Allah Swt atasnya.
Karena orang-orang yang terpaksa hanyalah orang-orang lemah yang terhalang
melakukannya. Hasan Al-Bashri berkata, “Taqiyah berlaku hingga hari
Kiamat.” (2) Di tempat lain ia berkata, “Tuqah dan
Taqiyyah sama.”
·
Al-Baihaqi
meriwayatkan dalam Sunan-nya, tafsir Ibnu Abbas atas ayat (man ukriha) ia
menyatakan, “Adapun orang-orang yang terpaksa menyatakan sesuatu yang
bertentangan dengan hatinya karena keimanan demi selamat dari musuhnya, maka
hal itu diperbolehkan. Sesungguhnya Allah Swt hanyalah menghukumi keyakinan
hatinya.”Dalam menafsirkan ayat, kecuali karena siasat (tat-taquh) untuk
melindungi diri (tuqatan) dari mereka. (QS. Âli ‘Imrân [3]: 28), Al-Suyuthi
dalam Al-Durr Al-Mantsûr meriwayatkan hadis dari Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim,
dari Ibnu Abbas, “Taqiyah itu dengan lisan karena takut kepada manusia
sedangkan hatinya teguh dalam iman. Maka hal itu tidak masalah. Taqiyah hanyalah
dengan lisan.” Kemudian Al-Suyuthi menyebutkan bahwa Abu Raja’, Qatadah, Ya’qub
dan lainnya membaca ayat tersebut, “illâ an tattaqû minhum taqiyyah (kecuali
karena siasat (tat-taqu) untuk menyembunyikan keimanan (taqiyyah) dari mereka)”
Dengan huruf ya’. (3)
·
Al-Nawawi
dalam Al-Majmû’ juz 18, h. 8, menyatakan, (wa qalbuhu muthmainnun bil imân)
dengan tidak menampakkan kenyataannya tidaklah dihukumi sebagai kafir. Ini
adalah pernyataan Malik dan Syafi’i, dan orang-orang Kufah selain Muhammad bin
Al-Hasan karena ia berkata, “Jika menampakkan syirik, maka ia telah keluar dari
Islam. Qurthubi berkata, “Ini adalah pernyataan yang ditolak oleh kitab dan
sunnah. Allah berfirman, illa man ukriha, dan illa an tattaqu minhumtuqah.
Seraya mengutip pernyataan Bukhari, ‘Ketika Allah mengizinkan bersikap kafir
bagi yang terpaksa, maka ia merupakan pokok syari’ah dan tidak dituntut
atasnya. Hal ini didukung oleh para ahli agama.’”
·
Dari
Abdullah bin Mas’ud ia berkata, “Jika pernyataan yang dipaksa kepadaku karena
dua kali cambuk dari penguasa, maka aku akan menyatakannya.” (Al-Mudawanah
Al-Kubra, juz 3, h. 29)
·
Al-Sarkhasi
(w. 490 H/1097 M) penulis kitab Al-Mabsûth menjelaskan secara mendetail
dalil-dalil bolehnya ikrah dalam satu bagian khusus kitab Al-Ikrah kemudian
mengutip pernyataan Al-Hasan Al-Bashri, “Taqiyyah diperbolehkan bagi seorang
mukmin hingga hari Kiamat, kecuali ia terpaksa menjadikannya untuk membunuh
(sebagai bentuk) taqiyyah. Taqiyyah adalah seseorang menjaga dirinya dari siksa
jika ia mengungkapkannya sekali pun bertentangan dengan hatinya. Sebagian orang
menganggapnya sebagai kemunafikan. Yang benar adalah ia diperbolehkan dengan
firman Allah, illa an tattaqu minhum tuqah. Pernyataan kalimat syirik secara
terpaksa disertai kemantapan hati dengan iman adalah bagian dari
taqiyyah.” (4)
·
Ibnu
Katsir meyakini ijmâ’ ulama bahwa taqiyyah diperbolehkan bagi “al-mukrah”
(orang yang terpaksa). Ibnu Katsir berkata, “Para ulama sepakat bahwa orang
yang dipaksa menyatakan kekufuran, diperbolehkan (menyatakan kekufuran) demi
menjaga keselamatan dirinya, sebagaimana juga boleh menolaknya seperti sikap
Bilal ra.”
·
Fakhruddin
Al-Razi ketika menafsirkan ayat 28 surah Âli Imrân (kecuali demi menjaga diri
mereka), beliau berkata, “Diriwayatkan dari Hasan (Al-Bashri) bahwa beliau
berkata, ‘Taqiyyah diperbolehkan bagi orang-orang mukmin hingga hari kiamat.
Pendapat ini lebih utama (kuat) karena mencegah bahaya atas diri sedapat
mungkin hukumnya wajib. ’”
·
Al-Ghazali
berkata, “Sesungguhnya menjaga darah orang Muslim adalah wajib, maka jika ada
orang zalim yang bermaksud menumpahkan darah orang Muslim dan ia bersembunyi
dari orang yang bermaksud membunuhnya, maka berdusta saat itu adalah wajib.”
·
Ibnu
Qudamah berkata, “Tidak diperbolehkan salat di belakang seorang ahli bidah dan
seorang fasiq di luar shalat Jumat dan hari raya yang mereka berdua
melaksanakannya di satu tempat dalam satu kota. Apabila takut (terancam
keamanannya) jika meninggalkan shalat di belakangnya, maka saat itu dia
diperbolehkan shalat bermakmum di belakangnya (fasiq, ahli bidah) dalam keadaan
bertaqiyyah, kemudian dia mengulang shalatnya.”
·
Al-Qurtubi
berkata, “Taqiyyah tidak dihalalkan kecuali dikarenakan takut akan pembunuhan,
penyiksaan, gangguan, atau bahaya yang besar. Dan tidak ada pendapat yang
dinukil yang berlawanan dengan pendapat ini menurut pengetahuan kami, kecuali
yang diriwayatkan oleh Muadz ibn Jabal dari kalangan sahabat dan Mujahid dari
kalangan tâbi’in.” (refrensi hadits dinukil
dari: https://www.ahlulbaitindonesia.or.id/
Semoga kilas singkat ini
bisa ikut berkontribusi bagi kesadaran masyarakat akan pentingnya memahami
segala sesuatu dengan merujuk kepasa sumber terpercaya yang sejalan dengan akal
dan syariat samawi.
Wassalam
Selalu update tulisan ini
karena seiring waktu berjalan akan ada penambahan dalil, penyesuaian kata atau
ralat yang diperlukan.
Kunjungi kami di:
Web : Khazanah Islam
YT Channel: Khazanah Ahlulbait
SoundCloud: Khazanah Islam Audio
No comments